Pesan Manis Kuningan dari Gubernur Koster: Ajak Krama Bali Raih Keseimbangan dengan Menghilangkan Egoisme, Setelah Ritual Selesai Kehidupan Sesungguhnya Dimulai
Foto:Gubernur Koster: Pelestarian Tanaman Upakara dan Usadha Bali untuk Keberlanjutan Alam dan Budaya

DENPASAR, Letternews.net – Rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan tahun 2025 ditutup dengan refleksi mendalam, menyusul pesan spiritual yang disampaikan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, tepat pada hari Manis Kuningan, Minggu (30/11/2025).
Melalui pesan singkat yang menyentuh, Gubernur Koster seakan mengirimkan epilog dari perjalanan suci umat Hindu Bali yang baru saja dilalui. Pesan tersebut berfokus pada nilai-nilai keikhlasan dan pengendalian diri:
“Menolong tanpa syarat, menerima tanpa melupakan, dan memberi tanpa mengingat.”
Dan dilanjutkan dengan pesan kedua yang lebih filosofis:
“Proses menuju penyatuan jiwa dan raga dengan alam semesta, syarat mutlak mampu menghilangkan egoisme dan berbagai keterikatan.”
Spiritualitas Melampaui Altar dan Ritual
Pesan Gubernur Koster pada momen Manis Kuningan ini terasa selaras dengan suasana hati umat Hindu Bali yang memilih duduk tenang, menata hati, dan meresapi makna spiritual pasca-persembahyangan.
Pesan pertama Koster menekankan bahwa spiritualitas sejati berpusat pada keikhlasan tak bersyarat (menolong, memberi) dan kebijaksanaan untuk menerima (menerima tanpa melupakan). Hal ini mengingatkan bahwa ibadah sesungguhnya dimulai ketika upacara selesai.
Sementara itu, pesan kedua merujuk pada inti dari Galungan-Kuningan: Keseimbangan. Perjalanan suci ini pada dasarnya adalah upaya untuk meredam ego dan merawat hubungan suci antara Parahyangan (Tuhan), Pawongan (Manusia), dan Palemahan (Alam), yang merupakan inti dari visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Refleksi Kepemimpinan dan Jernih Memandang Hidup
Pesan tersebut tidak hanya menjadi penutup rangkaian suci, tetapi juga refleksi terhadap gaya kepemimpinan Wayan Koster yang memilih berbicara tentang nilai-nilai filosofis, bukan tentang jabatan.
Pada hari Manis Kuningan, Bali menutup rangkaian sucinya dengan keheningan, doa, dan kata-kata reflektif seorang pemimpin, yang mengingatkan bahwa keikhlasan dan pengendalian diri adalah ibadah yang tidak pernah selesai.
Editor: Rudi.








