Tiket Langit, Harga Akal (yang) Hilang: Paradoks Mahal-Murahnya Rute Penerbangan Domestik

 Tiket Langit, Harga Akal (yang) Hilang: Paradoks Mahal-Murahnya Rute Penerbangan Domestik

Foto: Tiket Pesawat

 

DENPASAR, Letternews.net – Dalam catatan paradoksnya, Wayan Suyadnya mengungkapkan kebingungannya terhadap kebijakan harga tiket pesawat di Indonesia yang dinilai tidak masuk akal, terutama untuk rute penerbangan domestik jarak pendek. Ia menyoroti fenomena aneh di mana semakin jauh jarak tempuh, harga tiket justru bisa lebih murah, dan sebaliknya.

BACA JUGA:  Ketum Nasdem Temui Presiden Selama Satu Jam

Suyadnya mengambil contoh harga tiket di Traveloka untuk Senin, 13 Oktober 2025. Rute Lombok–Bali yang hanya memakan waktu setengah jam di udara, dipatok seharga Rp1.254.200 (Lion Air) dan Rp1.280.300 (Super Air Jet). Ironisnya, rute yang lebih jauh seperti Lombok–Surabaya hanya Rp751.000, bahkan Lombok–Jakarta yang memakan waktu lebih dari satu setengah jam justru lebih murah, Rp1.230.000.

“Aneh, bukan? Semakin jauh, semakin murah. Semakin dekat, semakin mahal. Seolah hukum fisika dan ekonomi di negeri ini punya tafsir sendiri,” tulis Suyadnya.

Ia mempertanyakan logika di balik penetapan harga ini, mengingat bahan bakar pesawat (aftur) yang semestinya berbanding lurus dengan jarak tempuh. Lombok, Bali, dan Jakarta sama-sama berada di wilayah Indonesia, namun langit negeri yang sama menaruh harga yang berbeda drastis bagi rakyatnya sendiri.

BACA JUGA:  Jelang Lebaran Tiket Pesawat Naik Pesat, Pariwisata Bali Berdampak

Nadi Pariwisata yang Dicekik Kebijakan

Rute Lombok-Bali, yang sudah ada sejak Bandara Selaparang aktif dan telah menjadi nadi pariwisata dua pulau bersaudara, kini terasa “dicekik oleh tangan tak kasat mata yang bernama kebijakan.” Suyadnya membandingkan harga tiket saat ini yang jauh melambung dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.

Ia menepis alasan teknis seperti jenis pesawat atau kapasitas penumpang, karena berbagai jenis pesawat dapat disesuaikan untuk rute pendek. “Kalau bukan karena alasan teknis, lalu apa? Jika ini kebijakan, kebijakan siapa? Jika ini strategi, strategi untuk siapa?” tanyanya.

BACA JUGA:  Tingkatkan Kapasitas, Kader Posyandu Desa Kutampi Siap Perangi Hipertensi

Suyadnya mengkritik para pengambil kebijakan yang seolah nyaman dalam kabin kekuasaan, melupakan bahwa harga tiket bukan hanya urusan kaum borjuis, tetapi juga berkelindan dengan kehidupan pedagang kecil. Ia mengajak para pembuat kebijakan untuk “turun sejenak dari kabin bisnis,” melihat pedagang terasi di Pasar Bertais, perajin tenun ikat di Terara, hingga pemilik warung sate belayag di Suranadi yang sangat bergantung pada kedatangan wisatawan.

“Semua berawal dari satu hal sederhana: harga tiket yang terlalu tinggi. Karena orang yang tadinya mau ke Lombok memilih ke tempat lain,” tegasnya.

Suyadnya mempertanyakan ketiadaan suara nyaring dari pihak-pihak berkepentingan di NTB, termasuk Menteri Pariwisata, Menteri Perhubungan, hingga PHRI NTB, dalam menghadapi “ketidakadilan” harga tiket ini.

BACA JUGA:  Mayoritas Masyarakat Puas dengan Kinerja Demokrasi Indonesia

“Negara pastilah bukan mafia. Tapi ketika kebijakan dibuat tanpa nurani, tanpa perhitungan bagi rakyat kecil, tanpa kesadaran bahwa satu kursi kosong di pesawat berarti satu piring nasi tak terisi di rumah pedagang kecil — maka apa bedanya negara dengan pedagang untung yang menjual penderitaan bangsanya sendiri?” pungkas Suyadnya, menutup catatannya dengan pertanyaan getir: “Berapa harga akal sehat di republik ini?”

Editor: Rudi.

.

Bagikan: