Produksi Garam Turun 50 Persen

 Produksi Garam Turun 50 Persen

Foto: Garam

Letternews.net — Produksi garam tradisional di Banjar Amed, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, turun sekitar 50 persen, karena musim hujan.

Padahal harga jual garam masih tinggi, Rp 75.000/kg. “Walau musim hujan, sebenarnya di wilayah Banjar Amed dan Banjar Lebah, tidak sepenuhnya hujan. Sesekali cuaca terang, makanya masih bisa berproduksi, hanya saja produksi turun 50 persen,” jelas Ketua Koperasi Garam Amed I Nengah Suanda, di Banjar Lebah, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Karangasem, Senin (31/10).
BACA JUGA:  24 Tahun Biznet Membangun Infrastruktur Digital Masa Depan
Kata dia, walaupun produksi menurun, tetap petani garap masih mampu melayani pesanan. Stok garam masih aman hingga tahun 2023. Sebab sesekali masih mampu berproduksi garam pada 20 lokasi oleh 24 anggota Koperasi Garam Amed. Suanda yang juga Ketua MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis) Garam Amed Bali mensyukuri sejak garamnya dapat sertifikat IG (indikasi geografis) dan ber-SNI, Garam Amed Bali 2016, nilai jual garam tradisional terus meningkat. Mulanya kisaran Rp 30.000 – Rp 35.000/kg tahun 2016, kemudian setahun berikutnya naik jadi Rp 50.000/kg, dan kini jadi Rp 75.000/kg.

Suanda menyebut, pasaran garam ini didukung pelanggan tetap dari luar Bali, hingga per tahun mampu jual sekitar 14 ton. Awalnya petani garam sekali panen, setiap empat hari sekali, tiap petani hanya mampu berpenghasilan Rp 300.000 hingga Rp 350.000, kali ini telah mampu berpenghasilan Rp 4 juta – Rp 6 juta. Tiap petani garam memproduksi rata-rata per empat hari 70 kg – 90 kg. Tiap tahun produksinya efektif 4 bulan, Agustus-November, total produksi berproduksi hingga 70 ton, dengan memanfaatkan lahan pantai yang masih tersisa 2 hektare. Sebelumnya hanya mampu berproduksi 32 ton setahun.

BACA JUGA:  Peningkatan Produksi Salak di Luar Musim Salak Desa Sibetan Kecamatan Bebandem Karangasem

Disebutkan, tiap petani garam mesti memiliki lahan minimal, sekitar 300 m2, dengan cara lahan itu dibagi empat petak. Di tengah petak ada sebuah tinjung (tempat filter air laut berbentuk cubang). Prosesnya membuat garam, keempat petak itu dituangkan air laut, setelah kena panas sinar matahari selama sehari air laut dari petak diambil dituangkan ke dalam tinjung. Dalam tinjung itu difilter, kemudian hasil filter di tinjung maka air setengah garam dituangkan ke palungan yang terbuat dari batang kelapa. Dalam palungan itulah air setengah garam dikeringkan, selama 12 jam, dituangkan pagi lalu sore telah jadi garam.  “Satu hal yang memudahkan petani garam, bahan bakunya tidak beli, langsung ambil di laut, dan jarak tempat produksi dengan lokasi mengambil air laut sekitar 20 meter,” tambahnya. Hanya saja di saat tengah berproses, tiba-tiba  datang hujan, garamnya jadi membusuk. (LN/NB)

.

Bagikan: