Polemik Wacana ‘Tegak Nyepi’ SKHDN: Ari Dwipayana Kritik Keras, Sebut ‘Grasa-Grusu’ dan Minim Kajian

 Polemik Wacana ‘Tegak Nyepi’ SKHDN: Ari Dwipayana Kritik Keras, Sebut ‘Grasa-Grusu’ dan Minim Kajian

Foto : Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta bersama Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, Wakil Walikota Denpasar, I Kadek Agus Arya Wibawa serta Forkopimda Kota Denpasar saat Mengangkat Ogoh-ogoh bertajuk Garuda Adi Rijasa sebagai pembuka gelaran Kasanga Festival Caka 1947 Tahun 2025 di Kawasan Catus Pata Patung Catur Muka Denpasar

DENPASAR, Letternews.net – Pasamuhan Agung Sabha Kretha Hindu Dharma Nusantara (SKHDN) Pusat yang digelar Selasa (30/12/2025) di Kantor Gubernur Bali memicu polemik hangat di kalangan umat Hindu. Pemicunya adalah wacana pengembalian penetapan hari raya Nyepi bertepatan dengan Tilem Kasanga, sebuah langkah yang dinilai akan mengubah tatanan yang telah mapan sejak puluhan tahun lalu.

Ketua Umum SKHDN Pusat, Ida Shri Bhagawan Putra Nata Nawa Wangsa Pamayun, berargumen bahwa sebelum tahun 1981, Nyepi dilaksanakan saat Tilem, merujuk pada Lontar Sundarigama dan Batur Kalawasan.

BACA JUGA:  Terkait Kejahatan Internasional Pelaku Terduga WNA Rusia

Lima Alasan Kritik Ari Dwipayana

Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, memberikan kritik tajam. Ia menilai keputusan yang didukung Gubernur Bali tersebut terkesan dipaksakan dan tidak memiliki relevansi dengan masalah krusial umat saat ini.

Ari Dwipayana memaparkan lima alasan mengapa wacana ini dinilai “grasa-grusu”:

BACA JUGA:  OJK & MUI Sepakat Tingkatkan Kerja sama untuk Mendorong Penguatan Sektor Keuangan Syariah

  1. Kajian Sepihak: Keputusan hanya merujuk sumber sastra tertentu, padahal penetapan Nyepi pada Penanggal Pisan didasarkan pada perhitungan wariga dan astronomi khatulistiwa yang komprehensif.

  2. Mengabaikan Pendahulu: Tidak mempertimbangkan dasar pemikiran para lingsir (tokoh sepuh) saat memutuskan penetapan Nyepi pada tahun 1981.

  3. Tradisi Besakih: Upacara Tawur Agung di Besakih, termasuk Eka Dasa Ludra, secara konsisten dilakukan pada Tilem Kasanga, bukan sehari sebelumnya.

  4. Filosofi Pemulihan Alam: Tradisi Nyepi (seperti Nyepi Segara/Abian) adalah upaya pemulihan alam setelah upacara Ngusaba atau Tawur.

  5. Minim Pelibatan Pakar: Tidak melibatkan ahli wariga, Jyotisa, dan akademisi universitas Hindu se-Indonesia untuk debat publik yang mendalam.

BACA JUGA:  Modus Pungli di Rutan KPK, Selundupkan HP

“Yang Gatal Tidak Digaruk”

Akademisi UGM ini juga menyayangkan prioritas pembicaraan para tokoh yang dianggap tidak menjawab problem riil krama Bali.

“Ibaratnya yang gatal justru tidak digaruk. Banyak problem keumatan seperti kemiskinan, angka ulah pati, banjir, hingga tata ruang yang buruk, namun yang dibicarakan justru hal yang tidak menjadi persoalan umat,” imbuh Ari Dwipayana, Rabu (31/12/2025).

BACA JUGA:  Putri Koster Ajak Masyarakat Ubah Perilaku dari Buang Sampah Menjadi Kelola Sampah

Jejak Sejarah Nyepi: Dari 1953 hingga 1983

Ari Dwipayana bersama penekun Wariga, Ida Bagus Budayoga, memaparkan bukti sejarah bahwa Nyepi pada Penanggal Apisan Sasih Kadasa sudah menjadi kesepakatan kolektif tokoh-tokoh besar Hindu:

  • 1953: I Gusti Bagus Sugriwa menulis bahwa Nyepi dilakukan esok hari setelah Tilem Kasanga.

  • 1964: Buku Upadesa yang disusun tokoh-tokoh seperti Ida Bagus Mantra hingga Ida Bagus Oka Punia Atmaja menetapkan Nyepi sehari setelah Tilem.

  • 1972: I Gusti Agung Gede Putra (Cudamani) menegaskan hal serupa dalam buku “Pengertian Hari Raya Nyepi”.

  • 1973: Dinas Agama Buleleng mengeluarkan pedoman Nyepi pada Penanggal 1, direstui oleh Ida Pedanda Putra Kemenuh.

BACA JUGA:  Anak Presiden Gibran dan Kaesang Dilaporkan ke KPK

Ia meminta PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) segera mengambil sikap agar tidak terjadi perpecahan dan kebingungan di tingkat umat. “Jangan sampai terjebak politik monumental demi kepentingan sepihak,” pungkasnya.

Editor: Rudi.

.

Bagikan: