Tim PKM Kolaborasi Warmadewa – Timor Leste Kembangkan Wisata Kristo Rei
Membangun Kuliner Indonesia Lewat Indikasi Geografis
Letternews.net — Saat kita menyesap harumnya teh Preanger sambil menikmati cinnamon roll, sesungguhnya kita sedang menikmati secuil kekayaan Indonesia. Pernahkah terbayang oleh kita, bagaimana kopi, teh, lada, kayu manis, garam dan sebagainya bisa sampai ada di dapur atau di atas meja makan kita?
Dalam dunia gastronomi ada istilah “From farm to cup, they come from far”. Memahami kalimat sederhana itu kuncinya hanya satu, yaitu apresiasi.
Jika kita puas dengan suatu olahan kopi, misalnya, biasanya kita hanya akan mengacungkan jempol ke barista.
Padahal faktanya, yang menentukan cita rasa kopi adalah 60% proses di lahan, 30% proses roasting dan 10% kepiawaian si barista.
Dengan kata lain, ketika kita memahami sedikit saja proses bagaimana sesendok kopi atau sejumput lada bisa sampai ke tangan kita, maka narasi tentang bagaimana petani bekerja mengelola keunggulan geografisnya sehingga bisa melahirkan reputasi, karakter serta keunikan cita rasa produknya, itu akan mendorong kita untuk lebih mengapresiasi secuil kekayaan Indonesia yang singgah di atas meja makan kita.
Sebuah riset yang dilakukan sejumlah portal media bisnis regional asia, menunjukkan bahwa saat ini kuliner merupakan bidang usaha yang paling banyak diminati oleh investor.
Riset tersebut juga menyajikan pembahasan tentang tren pertumbuhan industri F&B, termasuk startup kuliner.
Kabar gembiranya adalah, saat ini startup kuliner di Indonesia mendominasi pendanaan di regional asia hingga mencapai lebih dari US$ 644 juta yang berasal dari pemodal swasta, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sektor kuliner makin terbuka lebar, dan tentu ini bisa menjadi pintu masuk bagi produk pertanian pangan Indikasi Geografis asli Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar sekaligus meningkatkan peluang perdagangan dan arus investasi.
Indikasi Geografis sendiri adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu.
Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrle, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu.
Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort.
Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis.
Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum.
Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut.
Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM.
Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization).
Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat.
Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrle, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu.
Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort.
Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis.
Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum.
Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut.
Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM.
Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization).
Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat.
Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
(LN/RLS)