Akun Media Sosial Instansi Pemerintah Membosankan? Ini Kunci Memahami Pola Komunikasi Kekinian
Kasus Wamenaker dan Cermin Retak Bangsa: Ketika Uang dan Gelar Menjadi Berhala

Foto: Konferensi pers ini mengumumkan status hukum pihak-pihak yang diamankan, termasuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel.
Jakarta, Letternews.net – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer seolah bukan sekadar berita kriminal. Peristiwa ini dianggap sebagai cermin yang memantulkan kondisi bangsa yang tengah sakit, di mana rasa syukur digantikan oleh kerakusan, dan integritas dikalahkan oleh ambisi material.
Penulis berita ini menyoroti ironi perjalanan hidup Wamenaker yang sempat hidup sederhana, bahkan menjadi tukang ojek, sebelum mencapai puncak karier sebagai pejabat publik. Seharusnya, pencapaian ini disikapi dengan rasa syukur dan pengabdian. Namun, alih-alih berbuat demikian, ia justru terjerumus dalam praktik pemerasan demi mengumpulkan kekayaan yang tidak pernah terasa cukup.
Uang dan Gelar Sebagai Ukuran Keberhasilan
Kondisi ini, menurut penulis, mencerminkan penyakit yang lebih luas di masyarakat. Uang dan gelar kini menjadi ukuran tunggal keberhasilan dan kebaikan. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat, misalnya dalam pemilu, di mana pilihan politik dapat dengan mudah dibeli dengan amplop. Orang-orang yang dulunya dianggap tidak bermoral, seketika menjadi “mulia” hanya karena membawa harta.
Nilai-nilai luhur seperti integritas dan pengabdian seolah tergerus oleh standar keberhasilan yang diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, rumah yang megah, atau mobil mewah. Keadaan ini mendorong banyak orang untuk mengejar uang dengan segala cara, tanpa peduli halal atau haramnya.
Gelar Akademis, Sekadar Ornamen Status
Penyakit lain yang disoroti adalah obsesi terhadap gelar akademis. Gelar yang seharusnya menjadi tanda ilmu pengetahuan, kini hanya berfungsi sebagai ornamen status. Banyak orang berusaha mengumpulkan deretan gelar yang panjang tanpa diiringi dengan karya atau kualitas nyata.
Penulis membandingkan fenomena ini dengan tradisi Bali, seperti prosesi dwijati, di mana nama dan gelar duniawi ditanggalkan sebagai simbol kelahiran kembali spiritual. Dalam tradisi ini, manusia pada akhirnya hanya membawa dharma dan budi pekerti, bukan gelar akademis.
Dengan demikian, kasus Wamenaker ini tidak hanya menyoroti satu individu, melainkan menjadi refleksi dari penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. Yaitu, ketika uang dan gelar menjadi berhala baru, dan manusia menjadi semakin rakus, bahkan pada saat mereka telah memiliki segalanya.
Penulis: Wayan Suyadnya
Editor: Rudi.