Sejarah Hukum Syari’ah Islam

 Sejarah Hukum Syari’ah Islam

Foto: KetuaUmum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra

Letternews.net — Saya ingin menulis tentang syari’ah,karena hal itu sering ditanyakan kepada saya dan tampaknya banyak yang salah paham tentang hal itu. Kata syari’ah dalam Bahasa Arab artinya jalan yang lebar, sementara kata thariq artinya jalan yang sempit. Ibnu Taymiyyah mengartikan keseluruhan ajaran Islam adalah syari’ah, karena ia adalah jalan yang lebar menuju keridaan Allahdan kemaslahatan bagi umat manusia di muka bumi maupun di akhirat kelak. Sementara thariq atau thariqah adalah jalan yang sempit dan berliku yang ditempuh oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kajian hukum, pengertian syari’ah dibatasi hanya pada ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan norma atau kaidah hukum.

BACA JUGA:  Pembukaan Sidang Paripurna DPRD Kota Denpasar, Pemkot Denpasar Resmi Usulkan Ranperda Pelestarian Dan Perlindungan Ogoh-Ogoh.

Norma-norma hukum itu ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad s.a.w., yang merupakan dua sumber utama ajaran Islam. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung norma hukum disebut dengan istilah ayat-ayat hukum atau ayat-ayat ahkam. Begitu pula hadits-hadits yang jumlahnya ribuan itu, jika mengandung norma hukum, maka hadits-hadits tersebut dinamakan dengan istilah hadits-hadits hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an relatif tidak banyak dibanding ayat-ayat yang membahas masalah-masalah lainnya. Demikian pula hadits-hadits hukum. Abdul Wahhab al-Khallaf menyebutkan bahwa ada sekitar 3 persen dari seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang dapat digolongkan sebagai ayat-ayat hukum. Jumlah 3 persen itu di luar ayat-ayat hukum yang mengatur bidang peribadatan seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya. Jumlah 3 persen itu berisikan norma-norma hukum yang terkait dengan norma hukum privat dan hukum publik. Corak perumusan norma hukum dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits umumnya bersifat singkat, tidak rinci dan tidak dirumuskan dengan sistematik. Karena itu, meskipun al-Qur’an mengandung norma hukum, namun al-Qur’an bukanlah sebuah kitab hukum, apalagi kodifikasi hokum. Kitab-kitab hadits pun bukan pula kitab-kitab hukum, karena ia berisi himpunan hadits yang mencakup semua hal yang dicatat dari perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad s.a.w., semasa hidup beliau. Al-Qur’an memang bukan sebuah kitab hukum, karena fungsinya adalah sebagai petunjuk, penjelasan dan pembeda antara kebenaran dengan kesalahan. Dalam konteks itu maka kita memahami bahwa di bidang hukum, fungsi al-Qur’an adalah petunjuk, penjelasan dan pembeda dalam merumuskan norma hukum. Demikian pula fungsi hadits adalah memberikan petunjuk dan arahan dalam merumuskan norma-norma hukum. Karena fungsi al-Qur’an dan hadits adalah demikian, maka lebih tepat kita katakan bahwa syari’ah, yakni ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits hukum adalah sumber hukum, yakni sumber tempat kita menggali dan merumuskan norma hukum untuk digunakan dalam ruang dan waktu tertentu. Rumusan norma hukum yang singkat, tidak rinci dan tidak sistematik di dalam syari’ah itu memang sengaja dirumuskan demikian mengingat kehidupan umat manusia yang bersifat dinamis sehingga kebutuhan hukum mereka tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan zaman. Hanya dua bidang hukum yang dirumuskan rinci dalam syari’ah, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum perkawinan dan kewarisan itu pun masih memerlukan sistematisasi untuk memberlakukannya, juga mempertimbangkan perkembangan zaman. Pengertian ‘akil baligh yang menentukan batas usia untuk menikah bagi perempuan yang disebutkan dalam syari’ah misalnya, penerapannya ke dalam usia yang kongkret dikaitkan dengan kedewasaan untuk menikah, bisa berbeda antara satu kelompok umat Islam dengan umat Islam yang lain. Begitu pula kedudukan ahli waris pengganti, penerapannya bisa berbeda antara sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal dan bilateral. Karena syari’ah adalah sumber hukum, maka dalam perjalanan sejarah, muncullah ribuan kitab-kita yang membahas hukum dari para ulama dan fuqaha. Para fuqaha itu telah berusaha keras merumuskan filosofi, metodologi, tafsir dan bahkan merumuskan norma-norma hukum yang bersifat terapan. Kajian-kajian hukum itu tidak berhenti sampai sekarang, mengingat dinamika masyarakat di mana saja di dunia ini. Mengingat perbedaan ruang dan waktu, timbullah aneka pendapat dan aliran dalam hukum, yang disebut dengan istilah mazhab-mazhab hukum dalam Islam.

Perbedaan pendekatan dalam memahami dan merumuskan norma-norma hukum yang mengacu kepad syari’ah sebagai sumber hukum adalah lumrah dalam dunia ilmu. Ketika umat Islam mendirikan Negara-negara, syari’ah itu menjadi acuan utama dalam pembentukan hukum positif di zaman mereka. Seiring dengan hal itu lahirlah sistem hukum yang dinamakan dengan istilah Sistem Hukum Islam, lengkap dengan sistem peradilannya. Sistem Hukum Islam itu diakui dunia sebagai salah satu sistem hukum yang hidup dan berkembang di dunia ini, disamping sistem hukum yang lain seperti hukum Eropa Kontinental yang berasal dari Hukum Romawi, Hukum Anglo Saxon dari Inggris dan Hukum Asia Timur yang berasal dari Cina.

BACA JUGA:  Aset Terduga Tersangka LPD Sangeh I Nyoman Agus Ariadi Disita Penyidik

Hukum Islam sebagai sebuah sistem hukum itu berkembang dari ajaran Islam, karena itu terkait erat dengan ajaran agama. Meskipun terkait dengan ajaran agama, rumusan normanya bisa bersifat universal dan mempengaruhi hukum privat dan publik internasional. Hukum Perbankan Islam itu digunakan oleh banyak bank di Negara-negara Eropa dan Asia, meski mereka bukan pemeluk Islam. Senat Philipina, misalnya, mensahkan Republic Act on establishment of the Islamic Bank of Philippine yang menggunakan hukum perbankan Islam. Padahal konsitusi Philipina secara tegas menyebutkan bahwa Philipina adalah sebuah Republik Sekuler yang memisahkan agama dengan Negara. Muchtar Kusumaatmadja mengakui bahwa sumbangan terbesar hukum Islam kepada hukum intnasional publik adalah hukum perang dan damai. Sebagian besar konvensi hukum perang internasional yang sekarang berlaku diadopsi dari hukum Islam, karena syari’ah mengatur hal itu. Sementara bagi bangsa Romawi, di mana pengertian perang adalah bumi hangus, tidak ada hukum dalam perang, yang ada adalah kemenangan atau kekalahan. Hal yang sering menimbulkan kesalahpahaman adalah syari’ah adalah norma hukum dalam ajaran Islam yang kemudian membentuk sistem hukum dunia.

Masalahnya tidak semua agama mempunyai norma hukum seperti syari’ah, apalagi membentuk sistem hukum yang berdiri sejajar dengan hukum dunia yang lain. Hanya agama Islam, Yahudi dan Hindu yang membentuk sistem hukum. Di antara ketiganya, hukum Islam yang paling berpengaruh sampai kini. Makanya mata kuliah Hukum Islam diajarkan di mana saja di fakultas hukum, termasuk di Eropa, Amerika dan Amerika Latin. Sementara agama Kristen, Buddha dan Shinto tidak mengandung norma hukum dan tidak melahirkan sistem hukum selama perkembangan sejarahnya. Sistem Hukum Kristen, misalnya, memang tidak ada di dunia ini. Jesus sendiri mengacu dan mentaati hukum Taurat seperti disebutkan dalam al-Kitab. Meskipun agama Kristen tidak membentuk sistem hukum, namun setelah Imperium Romawi memeluk Kristen, doktrin Kristen memengaruhi Romawi. Doktrin dalam berbagai konsili itu dinamakan Hukum Kanonik Gereja Katolik.

BACA JUGA:  Warga Terseret Arus di Pantai Lembeng

Namun seiring dengan renaissance pengaruh itu kian berkurang. Proses sekularisasi Eropa mendorong sekularisasi di bidang hukum, pengaruh gereja dalam pembentukan norma hukum makin memudar. Di fakultas hukum manapun di dunia ini tidak diajarkan hukum Kristen, Hukum Budha atau Hukum Shinto. Agama-agama tersebut tidak membentuk sistem hukum. Secara sosiologis dan historis, hukum Islam tetap memengaruhi para pemeluknya dari dulu sampai sekarang. Hukum Islam adalah the living law.

Bagaimanakah hukum Islam di Indonesia? Sejak kedatangan Islam pengaruh hukum Islam itu cukup besar kepada masyarakat suku di Nusantara. Di tingkat yang paling awal, pengaruh hukum Islam itu terletak di bidang peribadatan dan hukum kekeluargaan. Ketika terbentuk kerajaan-kearjaan Islam Nusantara, pengaruh hukum Islam makin besar karena dijadikan sebagai rujukan utama pembentukan hikum. Pengaruh itu terasa di bidang hukum tatanegara, hukum pidana, perdata dan publik lainnya.

Transformasi syari’ah ke dalam hukum kerajaan-kerajaan Nusantara dilakukan melalui kitab-kitab fiqih yang dijadikan pegangan oleh para ulama. Sebagian lagi ditransformasikan langsung ke dalam hukum positif kerajaan tersebut dalam bentuk Qanun, yang selanjutnya membentuk sistem peradilan. Dalam melakukan transformasi itu, kaidah-kaidah hukum kebiasaan atau hukum adat juga dijadikan sebagai sumber rujukan pembentukan norma hukum. Raja Melaka yang memeluk Islam, Parameswara, membentuk hukum laut yang sangat menarik. Namanya Qanun Laut Kesultanan Melaka. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu sangat menarik, mengingat posisi Melaka sebagai negara yang bertanggung jawab atas keamanan Selat Melaka. Qanun yang diciptakan oleh kerajaan-kerajaan Islam Nusantara itu sangat banyak, belum terhimpun dengan baik, walau sudah ada beberapa riset tentang hal itu. Kesultanan Cirebon, misalnya, mempunyai Pepakem yang berisi hukum positif kesultanan itu. Hukum tatanegara pasti berlaku di kesultanan-kesultanan itu, mulai dari Kesultanan Ternate dan Tidore, Buton, Goa Tallo dan Makassar. Penelitian tentang ketatanegaraan Demak, Pajang dan Mataram Islam juga belum banyak dilakukan. Namun pasti norma-norma hukum Islam di bidang perkawinan berlaku di Mataram Islam, juga hukum jual beli. Ketika VOC mulai menguasai tanah Jawa, mereka meminta Prof. De Friejer untuk menghimpun hukum yang berlaku di tanah Jawa. Prof. Friejer menerbitkan kompilasinya tahun 1660 yang ternyata kompediumnya itu berisi hukum Islam yang disana sini mengadopsi hukum adat Jawa. Dari berbagai ilustrasi tadi saya ingin menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun yang lalu, syari’ah itu telah menjadi sumber hukum dan rujukan dalam pembentukan hukum dalam sejarah hukum di tanah air kita. Pertanyaannya kini adalah, “setelah kita merdeka dan membentuk sebuah republik yang demokratis, dimanakah posisi syari’ah itu?” Kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa belum banyak mengubah wajah hukum kita. Dari sudut pandang hukum, negara RI adalah penerus Hindia Belanda. Semua peraturan kolonial, kita nyatakan masih berlaku sebelum diadakan aturan yang baru menurut UUD ‘45. Itu diatur dalam pasal Peralihan UUD ’45. Meski demikian, Hindia Belanda dahulu mengakui keberlakuan hukum Islam walau terbatas pada hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sementara hukum Islam di bidang peribadatan tidak dicampuri pemerintah kolonial. Bidang ini mereka anggap sensitif kalau diintervensi.

BACA JUGA:  Bali Internet dan Amreg Cafee Sukseskan Amerta Regis Cup 2

Sementara untuk bidang hukum publik, pemerintah kolonial merumuskan norma hukum berdasarkan konstitusi Belanda. Di bidang hukum privat pemerintah kolonial membagi pendudik Hindia Belanda dalam 3 golongan. Golongan Eropa tunduk pada BW dan aturan-aturan lainnya; Golongan Timur Asing tunduk pada hukum adat mereka, kecuali mereka sukarela menundukkan diri pada hukum gol Eropa; dan Golongan Inlander atau bumiputra mereka tunduk pada hukum adat mereka masing-masing.

Pemerintah Hindia Belanda katakan bahwa Golongan Inlander tunduk pada hukum adatnya, bukan tunduk pada hukum Islam, meskipun mereka taat kepada agama Islam. Kebijakan Belanda tersebut terkait erat dengan politik Devide et Impera untuk memecah belah kaum bumiputra.

Belanda tidak mengakui hukum Islam berlaku, karena jika hukum Islam berlaku akan menyatukan semua suku bangsa yang beragama Islam.

Dengan mendukung hukum adat, maka Belanda mudah memecah belah mereka. Sejak awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mengikuti teori-teori van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa yang berlaku di kalangan Inlander bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Hukum Islam baru berlaku apabila telah diterima atau “direcipier” oleh hukum adat.

BACA JUGA:  Hamdan Law Office and Partners, Memberikan Solusi Hukum Yang Andal Dengan Kemampuan Multibahasa

Pendapat-pendapat seperti itu di alam kemerdekaan dibantah oleh para ahli hukum adat sendiri seperti Prof. Hazairin. Beliau mengatakan sebaliknya. Hukum Adat baru berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal itu disadari oleh orang Islam. Secara faktual hukum Islam adalah hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat Indonesia. Sebagai the living law, hukum Islam itu menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak bisa diabaikan.

Sebagai kesadaran hukum, maka negara demokratis manapun di dunia ini tidak dapat mengabaikan kesadaran hukum itu. Karena itu, Republik Philipina yang konstitusinya menyatakan dirinya sebagai negara sekular, belum lama ini mencabut UU Kontrasepsi. Sebab apa? Sebab mayoritas penduduk yang beragama Katolik menentang kontrasepsi sesuai doktrin gereja yang diyakini mayoritas rakyat. Tugas negara dalam merumuskan kaidah hukum adalah mengangkat kesadaran hukum yang hidup di kalangan rakyatnya sendiri menjadi hukum positif.

Dengan demikian, negara tidak melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri, apalagi negara itu menganut kedaulatan rakyat dan demokrasi.

BACA JUGA:  WNA Ber-KTP Denpasar, Walikota Jaya Negara Dukung Proses Hukum

Dalam konteks seperti itu jugalah hendaknya negara RI. Negara adalah satu-satunya institusi yang diberi wewenang untuk memformulasikan norma hukum.

Karena itu, almarhum Ismail Saleh mengatakan sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional kita adalah hukum Islam (syari’ah), hukum adat, Hukum eks kolonial Hindia Belanda yang telah diterima oleh masyarakat Indonesia, serta konvensi-konvensi internasional yang sudah kita ratifikasi.

Kebijakan pembangunan norma hukum di negara kita ini haruslah mempertimbangkan kemajemukan bangsa kita. Karena itu di bidang hukum privat, khususnya hukum kekeluargaan, kita harus memberlakukan berbagai jenis hukum sesuai kemajemukan tersebut. Hukum Perkawinan dan Kewarisan, misalnya, mustahil untuk dapat disatukan dan diberlakukan kepada semua orang. Maka biarlah ada kemajemukan. Bagi orang Islam, negara memberlakukan hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Begitu juga negara dapat mengangkat hukum kewarisan adat bagi komunitas adat tertentu, sesuai kesadaran hukum mereka. Sejalan dengan konsep negara kesatuan, di bidang hukum publik, sejauh mungkin negara merumuskan satu jenis hukum yang belaku buat semua orang.

BACA JUGA:  Tahapan Pilkada 2024, Bawaslu Ungkap Ada Kerawanan

Hukum Lalu Lintas misalnya tidak mungkin ada beberapa jenis hukum yang diberlakukan secara bersamaan. Begitu pula di bidang hukum pidana dan hukum administrasi negara harus ada satu jenis hukum yang berlaku bagi semua orang.

Dengan demikian, di bidang hukum publik kita memberlakukan unifikasi hukum. Sedang di bidang hukum privat kita hormati kemajemukan.

Dalam konteks merumuskan norma hukum publik yang bersifat unifikasi itu, kita merujuk kepada sumber-sumber hukum, yakni syari’ah, hukum adat, Hukum eks kolonial yang sudah diterima dan konvensi-konvensi internasional yang sudah kita ratifikasi. Ketika sudah disahkan menjadi undang-undnag, maka yang berlaku itu tidak lagi disebut syari’ah, hukum adat atau hukum eks kolonial, tetapi UU Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia itulah hukum positif yang berlaku di negara ini yang asalnya digali dari sumber-sumber hukum dengan mengingat kebutuhan hukum. Pertanyaannya, “Apakah dengan berlakunya hukum Islam di bidang privat dan transformasi asas-asas syari’ah ke dalam hukum publik, Indonesia kemudian menjadi sebuah “negara Islam”? Bagi saya tidak! Negara ini tetaplah Negara RI dengan landasan falsafah bernegara Pancasila.

Sama halnya dengan dijadikannya hukum adat di bidang privat dan ditransformasikanya hukum adat ke dalam hukum publik, tidaklah menjadikan Negara RI ini berubah menjadi Negara Adat. Negara ini tetaplah Negara RI dengan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegaranya.

BACA JUGA:  Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum Di Indonesia

Selama ini kita gunakan KUHP yang asalnya adalah Code Penal Napoleon yang diadopsi oleh Belanda dan diberlakukan di sini. Toh, negara kita tidak pernah berubah menjadi Negara Napoleon. Tetap saja negara kita Negara RI.

Inilah penjelasan saya tentang syari’ah dalam konteks pembangunan hukum nasional di negara kita.

Ditulis Oleh:
Prof. Yusril Ihza Mahendra

.

Bagikan: