Satu Keluarga Satu Sarjana

 Satu Keluarga Satu Sarjana

Foto: Gubenur Bali Wayan Koster

Denpasar — Langit Jaya Sabha seakan merekam detik-detik sebuah babak baru. 26 rektor dan pemimpin perguruan tinggi yang ada di Bali dikumpulkan oleh Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster.

Bukan untuk rapat biasa, bukan pula hanya seremoni. Tapi untuk meletakkan batu pertama dari sebuah mimpi besar yang sangat sederhana dan sangat agung: Satu Keluarga, Satu Sarjana.

BACA JUGA:  Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Hadiri Resepsi Puncak Satu Abad NU

Sungguh, ini bukan program biasa. Ini adalah percikan wahyu dari langit yang diterjemahkan dalam bahasa kebijakan. Paradoks: di dunia yang penuh ketimpangan, lahirlah tekad agar tak ada satu pun keluarga di Bali yang terjebak dalam gelapnya ketidaktahuan. Satu keluarga, satu sarjana. Bukan sekadar slogan, tapi jalan sunyi menuju kemuliaan.

Bayangkan, tak ada lagi rumah di pinggir pantai yang hanya dihuni nelayan tanpa akses pendidikan.

Tak ada lagi rumah di tengah hutan yang anak-anaknya hanya bermain tanah dan ilalang.

Bahkan di puncak gunung, akan lahir seorang sujana — ia yang melangkah dengan akal, berbicara dengan nurani, dan berpikir dengan logika.

Sarjana bukan hanya gelar — ia adalah janji. Bahwa kebodohan bisa diringkus, kemiskinan bisa diretas, penderitaan bukan kutukan, melainkan kesementaraan yang bisa diakhiri oleh ilmu.

Gubernur Koster tampaknya tahu benar makna ini. Di awal periode keduanya, ia menanam benih yang hasilnya mungkin tak ia petik sendiri, tapi akan dituai oleh Bali masa depan — Bali yang terang benderang.

Bila hari ini seorang sarjana lahir di satu keluarga, maka esok sarjana kedua akan muncul, lalu ketiga, dan seterusnya.

Ini seperti mata air di hulu yang tak pernah kering — mengalir, menghidupkan. Bali akan bersinar. Tidak hanya oleh lampu, tapi oleh pikiran.

Dan sungguh, ini adalah bukti, bahwa tak sembarang orang bisa menjadi Gubernur Bali. Bali adalah gumi tenget, tanah sakral. Ia memilih pemimpinnya lewat kehendak yang lebih tinggi dari kotak suara.

Pak Koster — anak gunung dari Sembiran, bukan bangsawan, bukan pemodal — tapi ia datang dengan titah tak kasatmata: memberi terang, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh rumah di Bali.

Pertanyaan muncul — akan ke mana para sarjana kelak setelah lulus? Apakah ada tempat untuk mereka?

Inilah lagi-lagi dunia paradoks. Sarjana sejati tak menunggu tempat; ia menciptakan ruang.

Dunia adalah tempat kerjanya: dari geladak kapal pesiar hingga sawah Kalimantan, dari kantor digital hingga ladang Afrika.

Formasi mereka bukanlah angka dalam lembar birokrasi, tapi ruang-ruang baru yang mereka buka dengan ilmu dan kecakapan.

Ilmu pengetahuan memang bermata ganda — bisa membebaskan, bisa menindas. Tapi di tangan Bali yang ajeg, ilmu itu menjadi penuntun — menuju sat kerthi, keseimbangan semesta.

BACA JUGA:  Saling Tusuk di Arena Tajen Satu Tewas 

Program ini bukan hanya untuk Bali. Tapi untuk dunia. Untuk umat manusia, untuk semesta.

Maka jika ada jempol untuk diberikan, bukan hanya pada Pak Koster, sang visioner, tetapi pada visi besar yang ia lahirkan — yang kelak akan membuat setiap rumah di Bali memiliki lentera, dan setiap keluarga memiliki harapan.

Ditulis Oleh:
Wayan Suyadnya
Dewan Pembina JMSI Bali

.

Bagikan: