Renungan Tumpek Landep: Ketika Bencana Banjir Menjadi Teguran Semesta

 Renungan Tumpek Landep: Ketika Bencana Banjir Menjadi Teguran Semesta

Foto: Gambar

DENPASAR, Letternews.net — Umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Landep pada Sabtu Keliwon, Wuku Landep. Perayaan ini hadir sebagai penutup dari rangkaian tiga hari suci yang saling berkaitan, yaitu Saraswati, Pagerwesi, dan Tumpek Landep. Jika Saraswati memuliakan ilmu pengetahuan, dan Pagerwesi adalah pagar yang menguatkan ilmu tersebut, maka Tumpek Landep menjadi wujud nyata dari ketajaman pikiran manusia yang menjelma menjadi teknologi.

BACA JUGA:  Orangtua Kaget, Oknum Kades Setubuhi Gadis 15 Tahun

Dalam siklus keyakinan Hindu di Bali, setiap perayaan memiliki maknanya sendiri. Sebulan lagi, Tumpek Pengatag akan tiba, mengingatkan manusia untuk menghormati pepohonan sebagai leluhur. Filosofi ini mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari rantai kosmis, bukan pusat dari semesta.

Pada Tumpek Landep, umat Hindu bukan hanya sekadar mempersembahkan sesajen pada keris, motor, atau mobil. Ini adalah bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan manusia pikiran yang tajam (landep) untuk menciptakan teknologi. Keris, mobil, bahkan senjata, hanyalah simbol dari ketajaman pikiran itu. Sayangnya, banyak orang yang salah mengira bahwa umat Hindu menyembah benda-benda tersebut.

BACA JUGA:  Usai Kunjungan Kerja, Presiden Prabowo Tinjau Korban Banjir di Bali

Paradoks Ilmu Pengetahuan dan Bencana sebagai Pengingat

Di sinilah paradoks muncul. Ilmu pengetahuan bebas nilai, sebagaimana sebuah pisau bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Teknologi bisa memelihara atau merusak. Oleh karena itu, semua harus memiliki “pagar” yang kuat. Pagerwesi bukan hanya mitos, melainkan pengingat agar pikiran yang tajam tidak berubah menjadi pisau yang melukai semesta.

Fenomena banjir bandang yang terjadi tepat di hari suci Pagerwesi bisa jadi adalah sebuah teguran dari semesta. Bencana ini menjadi pengingat bahwa ketajaman pikiran manusia seharusnya tidak digunakan untuk merusak alam, merambah hutan, atau menutup aliran sungai dengan sampah.

BACA JUGA:  Pemkod Denpasar Serahkan Bantuan Pasca Bencana

Bali, yang dikenal sebagai gumi tenget (tanah sakral), selalu memiliki cara untuk mengingatkan manusia. Alam bereaksi ketika keseimbangan dilanggar.

Maka, kontemplasi yang dapat diambil dari Tumpek Landep kali ini adalah menggunakan karunia pikiran yang tajam untuk mengembalikan harmoni. Normalisasi sungai, penataan hutan, dan pengelolaan sampah yang mumpuni adalah tugas yang tidak bisa dilempar-lempar tanggung jawabnya.

Pada akhirnya, Tumpek Landep adalah tentang pilihan arah pikiran manusia Bali: apakah ia akan tetap bersujud pada harmoni, atau justru tergelincir pada keserakahan. Sejarah telah menunjukkan, alam tidak pernah lupa untuk menegur saat keseimbangan itu dilanggar.

Penulis: Wayan Suyadnya
Editor: Rudi.

.

Bagikan: