Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya, Wakil yang Menjadi Tuan
Letternews.net — Di negeri demokrasi ini, ada sebuah sandiwara yang tak pernah usai: kisah tentang “wakil rakyat.”
Dari panggung politik hingga ruang sidang yang megah, mereka dipilih untuk menjadi wakil rakyat, perpanjangan tangan mereka yang tak berdaya di hadapan birokrasi dan kekuasaan.
Namun, di balik jargon “untuk rakyat,” sering kali lahir ironi yang menyayat: wakil yang lupa diri, berubah menjadi tuan bagi mereka yang memilihnya.
Ketika kampanye, mereka datang dengan senyum yang tak putus, berjabat tangan, merangkul petani, buruh, dan nelayan, seolah-olah satu napas dengan rakyat. Tapi setelah terpilih, senyum itu perlahan memudar.
Wakil yang semestinya mendengar dan memperjuangkan suara rakyat, justru sibuk berceramah, menggurui, bahkan mengabaikan rakyat yang menjadi “tuannya.”
Saat reses, yang seharusnya menjadi momen mendengar keluh kesah rakyat, sering kali berubah menjadi ajang pamer kuasa.
Dengan mobil mewah dan ajudan yang siaga, wakil rakyat ini turun ke lapangan bukan untuk mendengar, tapi untuk berbicara, seolah-olah rakyat adalah bawahan yang harus diatur.
Padahal, tugas mereka bukan memimpin, melainkan menjadi corong aspirasi rakyat di ranah legislatif.
Lebih tragis lagi, ada yang sibuk berpose, menjepret momen seolah-olah bekerja keras. Mereka hadir dalam rapat, melambaikan tangan, atau bersepakat dengan penuh gaya, tetapi substansi dari tugas mereka sering kali terabaikan.
Alih-alih memahami aspirasi rakyat, mereka justru larut dalam permainan politik yang jauh dari kepentingan rakyat.
Lalu, ada DPD, lembaga yang dulu memiliki posisi strategis sebagai utusan daerah. Sebelum amandemen UUD 1945, mereka bagian dari MPR yang menyusun GBHN, memilih presiden, dan membuat ketetapan-ketetapan besar.
Tapi kini, peran itu mengecil, menjadi sekadar wakil daerah tanpa kekuasaan besar. Namun, ironinya, ada anggota DPD yang malah berusaha memposisikan diri sebagai pemimpin rakyat, melupakan bahwa tugasnya adalah menjadi representasi, bukan penguasa, apalagi raja.
Ada perbedaan jelas antara wakil rakyat dan pejabat eksekutif seperti presiden, gubernur, atau bupati.
Pemimpin eksekutif dipilih untuk memimpin rakyat, membuat keputusan, dan menjalankan pemerintahan. Ketika mereka berbicara kepada rakyat, itu adalah bagian dari tugas mereka sebagai pemimpin.
Berbeda dengan wakil rakyat, yang mandatnya adalah mendengar, menyerap, dan membawa aspirasi ke meja legislatif, bukan memberikan perintah atau pengajaran, apalagi bersepakat.
Dunia politik kita telah terbalik. Wakil rakyat kerap tampil seperti eksekutif, memberikan perintah tanpa mendengar. Sedangkan rakyat, yang seharusnya menjadi tuan, hanya bisa berharap aspirasinya tak tenggelam di antara agenda-agenda pribadi dan politik kepentingan.
Paradoks ini mencerminkan betapa jauhnya kita dari esensi demokrasi.
Wakil rakyat bukanlah raja, dan rakyat bukanlah bawahan. Wakil adalah perpanjangan suara, bukan pengambil keputusan final.
Ketika wakil rakyat melupakan tugasnya, ia kehilangan makna dari mandat yang diembannya.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kita telah salah memilih? Ataukah sistem ini yang telah salah arah?
Di tengah hiruk-pikuk politik yang penuh paradoks, hanya satu yang pasti: rakyat tidak boleh lupa bahwa dalam demokrasi, merekalah pemegang kuasa tertinggi, dan wakil hanyalah pelayan suara mereka.
Ditulis Oleh: Wayan Suyadnya