Sumpah yang Campah: Ketika Janji Suci Kehilangan Maknanya

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali
DENPASAR, Letternews.net – Dalam catatan Wayan Suyadnya, sumpah di Bali bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah ikatan suci yang dipertaruhkan dengan nyawa. Di hadapan api dan dupa, sumpah menjadi jalan menuju kebenaran, di mana kebohongan akan berujung pada bencana. Kisah-kisah peradilan adat para tetua menjadi bukti bagaimana sumpah adalah komitmen yang menggigilkan, sebuah janji yang dijaga hingga akhir hayat.
Sumpah Palapa Gajah Mada menjadi teladan abadi. Gajah Mada tidak hanya mengucapkan janji, tetapi ia menjalani sumpah tersebut dengan seluruh nafas hidupnya—rela menderita hingga cita-citanya mempersatukan Nusantara terwujud.
Namun, catatannya menyoroti paradoks yang terjadi di masa kini. Ia mempertanyakan keberanian para pemimpin negeri untuk bersumpah dengan kesucian yang sama. Yang ada, menurutnya, hanyalah sumpah jabatan yang dibaca sebagai formalitas di podium dan dilupakan begitu acara selesai. Sumpah telah menjadi “gincu di bibir politik,” kehilangan kesakralannya dan hanya menjadi tinta di atas kertas protokoler.
Hilangnya Kesakralan Jabatan
Wayan Suyadnya membandingkan hal ini dengan nilai yang dijunjung di Bali, di mana jabatan sekecil apapun, seperti kepala banjar, tetap dihormati hingga akhir hayat. Jabatan adalah beban suci, bukan sekadar kursi untuk gengsi.
Sebaliknya, ia melihat para pejabat negeri ini menikmati kemewahan jabatan, namun kosong dari kesakralan. Menurutnya, jika saja mereka berani bersumpah layaknya Gajah Mada, Indonesia tidak akan terjerat utang atau mengalami kelangkaan sumber daya yang seharusnya melimpah. “Negeri yang kaya raya, rakyatnya miskin. Negeri yang penuh sumber daya, justru menjadi pengemis dunia,” tulisnya.
Sumpah yang Mati, Negeri yang Mati
Ia menyimpulkan, semua permasalahan ini berawal dari “sumpah yang campah”—sumpah yang tidak lagi ditakuti oleh orang yang mengucapkannya sendiri. Hilangnya kesakralan sumpah menjadi awal dari kehancuran moral dan integritas bangsa.
Wayan Suyadnya menutup catatannya dengan seruan untuk membangun kembali kesakralan sumpah. Pemimpin harus berani menanggung janji dengan tubuh dan jiwa mereka, tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada leluhur, tanah air, dan generasi mendatang. Karena, “jika sumpah telah mati, maka negeri pun akan mati perlahan.”
Editor: Rudi.