Pesona Jalur Lintas Selatan: Pantai Tambakrejo dan Sine Jadi Primadona Libur Tahun Baru 2026
Siklus Polemik PBNU: Antara Islah Lirboyo, Isu Tambang, dan Relevansi Dawuh Kiai As’ad Syamsul Arifin
Foto: Ahmad Zidni Fahmi Irfani (Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, STAI Al-Anwar Sarang Rembang).

REMBANG, Letternews.net – Tubuh organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), tengah menjadi sorotan tajam. Jagat media sosial dipenuhi diskursus terkait “carut-marut” kepengurusan pusat setelah munculnya kabar mengejutkan: pemberhentian Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar melalui keputusan Majelis Syuriyah.
Konflik internal ini sempat memicu kekhawatiran akan terjadinya perpecahan besar. Namun, angin segar berhembus setelah para masyaikh dan pengurus teras PBNU duduk bersama dalam sebuah musyawarah di Pondok Pesantren Lirboyo. Hasilnya, kedua belah pihak sepakat untuk Islah (rekonsiliasi) dan mempercepat pelaksanaan Muktamar ke-35.
Akar Konflik: Konsesi Tambang hingga Isu Gratifikasi
Polemik ini tidak muncul dari ruang hampa. Berbagai spekulasi menyebutkan bahwa ketegangan dipicu oleh tata kelola konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada PBNU. Lebih jauh, isu liar mengenai dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp100 miliar sempat menerpa Gus Yahya.
Meski Gus Yahya telah memberikan klarifikasi tegas melalui kanal resmi seperti NU Online, kegaduhan di tingkat akar rumput tak terhindarkan. Fenomena ini mengundang kita untuk merenung: apakah ini murni persoalan prosedur AD/ART atau ada pergeseran khittah di level pimpinan?
Dawuh Kiai As’ad: “Se Tak Beccus Pengurusse”
Menyikapi kemelut ini, relevansi pemikiran tokoh legendaris NU, ALM. KHR. As’ad Syamsul Arifin, kembali mengemuka. Dalam sebuah video yang viral kembali, beliau pernah berpesan dengan bahasa Madura yang lugas bahwa kerusakan khittah NU seringkali bukan disebabkan oleh warganya, melainkan pengurusnya.
“Warga NU nika rok nurok panapa ca’en ulama… Tape setak beccus se tak bhender pengurusse” (Warga NU itu hanya ikut apa kata ulama… Tapi yang tidak becus, yang tidak benar itu pengurusnya).
Pesan ini menjadi tamparan sekaligus pengingat bahwa warga NU di tingkat bawah harus tetap tenang (seperti arus bawah laut yang damai meski di permukaan ada ombak besar) dan tidak terjebak dalam fanatisme buta terhadap faksi tertentu di kepengurusan.
Menatap Muktamar ke-35: Jalan Panjang Pendewasaan
Sebagai organisasi yang dihuni oleh manusia (bukan malaikat), pergolakan kepemimpinan di NU bukanlah hal baru. Sejarah mencatat NU berkali-kali menghadapi badai yang lebih besar dan selalu berhasil keluar sebagai pemenang melalui mekanisme musyawarah kiai.
Langkah Islah di Lirboyo harus dimaknai sebagai titik balik. Muktamar ke-35 yang akan dipercepat bukan sekadar ajang ganti nakhoda, melainkan ruang evaluasi total terhadap visi besar NU dalam menghadapi isu-isu riil umat: kemiskinan, pendidikan, hingga tata kelola organisasi yang transparan.
Bagi warga Nahdliyin, tugas kita adalah terus memantau dengan kritis, berdiskusi dengan kepala dingin, dan mendoakan agar para masyaikh senantiasa diberi petunjuk untuk menjaga bahtera besar ini tetap pada jalur perjuangan para pendiri.
Penulis: Ahmad Zidni Fahmi Irfani (Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, STAI Al-Anwar Sarang Rembang).
Editor: Rudi.








