Selamat Ulang Tahun ke-67, Provinsi Bali: Kekayaan dan Tantangan Masa Depan

 Selamat Ulang Tahun ke-67, Provinsi Bali: Kekayaan dan Tantangan Masa Depan

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali

Denpasar, Letternews.net — Tepat pada 14 Agustus 2025, Provinsi Bali merayakan hari jadinya yang ke-67. Perjalanan panjang dari sebuah gugusan wilayah dalam Sunda Kecil hingga menjadi provinsi yang berdiri sendiri sejak 1958, menandai kematangan sebuah wilayah yang terus berproses. Selama 67 tahun, Bali telah silih berganti dipimpin oleh banyak tokoh, namun satu hal yang konstan: Bali tetap menjadi destinasi pariwisata dunia yang kian bersinar.

Dalam catatan Wayan Suyadnya, hari jadi ini menjadi momentum untuk merenung, di tengah paradoks kekayaan Bali yang unik. Berbeda dengan wilayah lain yang makmur dari hasil tambang atau sumber daya alam yang tergali, kekayaan Bali justru mengalir dari keindahan alam dan kearifan budayanya.

BACA JUGA:  Tak Becus Kelola Dana BKK, Polisi Tangkap Empat Kepala Desa di Kabupaten Bojonegoro 

Pariwisata sebagai Mata Air Kehidupan

Bali tidak memiliki tambang emas atau minyak, namun menyumbang hampir separuh pendapatan pariwisata Indonesia. Kabupaten Badung bahkan menjadi salah satu kabupaten terkaya di negeri ini. Kekayaan ini datang dari kreativitas, keramahan, dan senyum penduduknya yang memikat wisatawan dari seluruh dunia.

Para pelancong datang, berjemur di pantai, menikmati kuliner lokal seperti bebek betutu, menyaksikan tarian Barong, dan merasakan aura magis di Pura Besakih. Uang yang mereka bawa mengalir ke berbagai sektor ekonomi, dari pedagang kecil, pengrajin, pemandu wisata, hingga pemilik hotel. “Air” pariwisata ini terus memutar roda ekonomi dan memberikan kesejahteraan, namun Suyadnya mengingatkan, mata air ini bisa kering jika tidak dijaga.

Menjaga Bali dari “Sampah” dan Pergeseran Nilai

BACA JUGA:  Kapolri Kukuhkan BANKAMDA dan SIPANDUBERADAT Bali

Peringatan 67 tahun Provinsi Bali menjadi pengingat bahwa keindahan dan kenyamanan Bali bisa lenyap jika tidak dirawat. Sampah yang harus dibersihkan tidak hanya yang berupa plastik di pantai, tetapi juga “sampah sosial” seperti tindakan kriminalitas yang merusak rasa aman. Kemacetan yang kian parah juga menjadi racun yang perlahan dapat membuat wisatawan enggan kembali.

Lebih dari itu, fondasi adat dan tradisi yang berpegang pada Tri Hita Karana tidak boleh retak. Pergeseran dari masyarakat agraris ke industri harus diwaspadai agar tidak mengikis lanskap budaya Bali, seperti sawah yang berubah menjadi deretan vila.

BACA JUGA:  Target Komisi Informasi Provinsi Bali Sengketa Informasi Publik Makin Berkualitas

Momentum ini adalah waktu yang tepat untuk kontemplasi—ke mana arah Bali akan melaju. Perubahan adalah keniscayaan, tetapi arahnya harus dijaga agar selalu menuju kebaikan.

“Selamat ulang tahun, Baliku, Balimu, Bali kita semua,” tutup Suyadnya. “Semoga Tanah Dewata ini tetap abadi dalam cahaya, di tengah dunia yang terus berubah.”

Editor: Anto

.

Bagikan: