Polda Bali Distribusikan Makan Bergizi Gratis Untuk Anak-Anak Sekolah
Sekolah Rakyat vs SMA Bali Mandara

Denpasar, Letternews.net — Sebentar lagi, di tahun ajaran 2025/2026 negeri ini akan melahirkan sekolah baru; sekolah rakyat.
Sekolah apa pula ini? Saya nyaris tak peduli, mungkin banyak juga yang abai, sampai di suatu acara kemarin di Kuta, Pak Kariyasa Adnyana Adnyana, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP, menyebut-nyebutnya dalam sebuah sambutan, yang tampak remeh namun menggugah rasa ingin tahu saya.
Sekolah rakyat, katanya, akan dibangun satu di Bali—di Karangasem. Di bawah naungan Kementerian Sosial, bukan Kementerian Pendidikan.
Di sinilah menariknya, sekolah rakyat berada bukan di bawah kementerian pendidikan, melainkan kementerian sosial. Saya jadi ingin tahu lebih dalam.
Sekolah, yang selama ini kita kenal berada di bawah Kementerian Pendidikan—TK, SD, SMP, SMA—ditambah pula yang di bawah Kementerian Agama seperti madrasah (Islam) dan pasraman (Hindu), kini harus berbagi panggung dengan Kementerian Sosial. Kemensos yang ramai dengan bansosnya itu akan memiliki Sekolah Rakyat.
Apakah ini babak baru pendidikan atau justru paradoks administratif?
Dari secuil informasi yang saya kumpulkan, sekolah rakyat dirancang sebagai SMA berasrama bagi siswa miskin, dengan biaya fantastis: Rp48 juta per siswa per tahun.
Jika benar begitu, ini bukan sekadar sekolah, tapi semacam oasis dalam padang gurun ketimpangan.
Saya jadi teringat dengan Sekolah Bali Mandara, yang dulu begitu membanggakan di era Gubernur Mangku Pastika. Di era itu, Mangku Pastika, tepatnya pemprov Bali hanya ngurus satu SMA yaitu SMA Bali Mandara sementara SMA yang lain diurus kabupaten/kota. SMA Bali Mandara sungguh-sungguh jadi anak emas pada era itu.
Sekolah Bali Mandara menyambut siswa miskin dari pelosok desa dengan kasih dan harapan. Ia berdiri tegak saat pendidikan masih menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Namun setelah SMA menjadi urusan provinsi, semangat itu pelan-pelan tampak menyusut karena demi keadilan, statusnya harus menjadi “reguler” sama dengan SMA lainnya, sebab keadilan harus diberikan untuk semua siswa miskin, maka seluruh SMA negeri diwajibkan menampung dan memprioritaskan siswa miskin, dengan begitu tak ada siswa miskin yang tak mendapatkan pendidikan.
Kini datanglah sekolah rakyat, bak adik bungsu yang dimanjakan negara: lebih besar anggarannya, lebih tebal janji-janji kemanusiaannya. Langsung perintah presiden.
Paradoks pun menari-nari di depan mata: apakah kita akan mulai dari nol membangun model baru, ataukah menambal yang telah terbukti—yakni SMA Bali Mandara—dengan dana dan sistem baru?
Jika SMA Bali Mandara sanggup menghasilkan lulusan mumpuni hanya dengan anggaran Rp22 juta per siswa, apa yang bisa dicapai dengan Rp48 juta per siswa di sekolah rakyat?
Ini pertanyaan emas yang menggoda.
Maka daripada menciptakan duplikasi institusi, bukankah lebih bijak menjadikan SMA Bali Mandara sebagai sekolah rakyat di Bali?
Dengan status baru itu, ia tak perlu lagi menyedot APBD provinsi, menjauhkan dari kecemburuan, karena akan mendapat aliran dana langsung dari APBN.
Bahkan Bali tak hanya akan memiliki satu sekolah rakyat di Karangasem, tetapi dua: Karangasem dan Buleleng. Bila memungkinkan semua kabupaten/kota memiliki sekolah rakyat. Ini bukan soal jumlah, tapi soal keadilan dan kesinambungan.
Tapi bagaimana dengan koordinasi antarkementerian? Tidakkah tumpang tindih, antara Kemensos, Kemendikbud, dan Kemenag?
Tumpang tindih memang bisa jadi malapetaka birokrasi, tapi juga bisa jadi simfoni indah jika dirancang dengan jernih. Harus ada garis koordinasi yang bukan sekadar surat edaran, tapi kehendak politik yang kuat, dan kerendahan hati antarlembaga.
Sekolah rakyat, jika benar ingin menyentuh rakyat, tak boleh lahir hanya dari kehendak pusat, tapi harus tumbuh dari akar-akar lokal.
Bali punya pengalaman panjang, bukan sekadar ide. Yang perlu adalah menanam kembali kepercayaan pada apa yang sudah ada—menyulam yang kurang, memperkuat yang rapuh, dan tidak merombak yang sudah terbukti berhasil.
Dalam dunia paradoks, kadang kebenaran lahir bukan dari yang baru, tetapi dari yang nyaris dilupakan. Dan mungkin, sekolah rakyat adalah cermin: apakah kita benar-benar memihak rakyat, atau hanya ingin terlihat sedang memihak?
Ditulis Oleh:
Wayan Suyadnya