Sekda Bali Serahkan Medali di AFC 2025, Menpora Dorong Akselerasi Anggar Menuju Olimpiade
Plastik Ringan, Sampahnya Berat

Foto: Sampah plastik
Letternews.net — Sampah plastik memang ringan, namun ngurus sampahnya, bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan bisa dibilang, pekerjaan paling berat yang dipilih oleh siapa pun yang ingin berbuat baik untuk bumi.
Aneh memang memilih jalan benar justru bisa membuat seseorang tidak disukai. Itulah paradoks yang saya temui di dunia nyata.
Membuat sesuatu jadi bersih seharusnya jadi hal yang baik, tapi anehnya, sering kali justru membuat banyak orang sinis, banyak yang nyinyir.
Seperti gerakan “Bali Bebas Sampah Plastik” yang belum lama ini dideklarasikan oleh Gubernur Wayan Koster.
Menteri Lingkungan Hidup pun datang langsung menghadiri acara itu, mendukung, menyaksikan. Tapi di balik seremoni dan optimisme itu, suara-suara miring berdatangan.
Bukan dari mereka yang bergelut dengan sampah setiap hari, bukan dari yang tangannya pernah kotor karena memilah botol atau memungut gelas dan kantong plastik—melainkan dari mereka yang merasa tahu segalanya tanpa pernah menyentuh realitas.
Sementara itu, masyarakat kecil dan LSM yang selama ini sungguh-sungguh bekerja mengelola sampah merasa harapan itu tumbuh. Mereka tahu, jalan ini tidak mudah. Harus kerja ekstra keras, kadang dengan tangan besi. Karena perubahan, terutama perubahan ke arah yang lebih bersih, selalu mengundang resistensi.
Kemarin, saya hadir di sebuah upacara adat. Seorang teman melangsungkan upacara Widhi Widana. Di tengah khidmatnya suasana, saya sempat memperhatikan satu hal yang sulit dihindari—air minum dalam gelas plastik. Praktis, ya. Tapi itu juga bukti bahwa budaya praktis masih begitu kuat mencengkeram.
Menghapus plastik sekali pakai memang bukan sekadar soal logistik, tapi soal komitmen. Komitmen untuk berkata “tidak” meski konsekuensinya adalah kerepotan. Tapi demi bumi, kita harus berani sedikit ribet. Harus berani berbeda.
Dalam perjalanan pulang, saya mampir di sebuah warung. Memesan rujak kuah pindang, makanan sederhana yang rasanya selalu bikin rindu. Di sokis minuman, saya melihat pemandangan yang sudah terlalu biasa—air kemasan plastik berjejer rapi, seperti tentara kecil yang siap menjarah lingkungan.
Tak hanya air minum, ada juga teh, susu, dan soda—semuanya dibungkus plastik. Para pedagang kelontong masih menjadikan plastik sebagai sahabat dagang. Wajar. Tak ada yang benar-benar membimbing mereka keluar dari kebiasaan itu. Padahal, program Gubernur Koster sangat bagus. Tapi bagus saja tak cukup. Harus ada proses penyadaran yang lebih dalam dan menyeluruh.
Tapi harapan itu tetap ada. Di pojok Art Center, saya melihat sesuatu yang berbeda.
Pedagang di sana tak lagi menjual air kemasan dalam botol plastik. Ia menyediakan galon besar, menuangkan air ke dalam gelas bukan sekali pakai. Katanya, sebentar lagi akan hadir air minum dalam botol kaca. Namanya dia sebutkan dan dikasi conyohnya. Soal harga tak mahal, hanya lima ribu rupiah. Terjangkau. Berarti. Sekaligus memberi solusi.
Saya berpikir, jika satu kantin kecil bisa melakukannya, mengapa yang lain tidak? Ajakan harus turun menjadi gerakan, gerakan harus bisa jadi kebiasaan. Kapan? Ya, jangan lelah, jangan lengah, apalagi lengeh. Terus dan terus mengajak, bergerak dan membiasakan budaya bersih seperti tetua sebelum maturan selalu mabersih terlebih dahulu, measah-asah baru kemudian ngunggahan canang.
Jadi jawaban atas semua ini mungkin sederhana: komitmen. Keberanian untuk menolak apa yang nyaman, demi apa yang benar. Dan mungkin juga, sedikit tekanan sosial yang membangun.
Sayangnya, di tempat yang sama saya belum melihat tempat sampah khusus untuk botol dan gelas plastik. Padahal itu bisa menjadi simbol: bahwa di sini, plastik sekali pakai tidak diterima. Tanda yang sederhana tapi penting.
Mengurus sampah plastik memang tidak membuat seseorang jadi pahlawan. Bahkan kadang membuat kita seperti musuh dalam pesta yang suka mengganggu kenyamanan orang.
Tapi kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan?
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, anak-anak kita akan hidup di tanah yang lebih bersih, dan mengucapkan terima kasih untuk keputusan yang dulu diambil dengan penuh keraguan tapi juga keyakinan.
Ditulis Oleh: Wayan Suyadnya