Idul Adha UJB Bali, Momentum Jurnalis Perkuat Solidaritas dan Etika Pemberitaan
Petruk dan Hiruk Pikuk PKB

Foto: Ilustrasi
Denpasar — Belum dilaksanakan, Pesta Kesenian Bali ke-47 tiba-tiba hiruk pikuk, ramai dalam pergunjingan. Ada suara gaduh dari balik panggung yang belum berdiri.
Bukan oleh tabuh-tabuhan, bukan pula oleh topeng-topeng yang menari, melainkan oleh suara yang tak bersuara: rumor.
Petruk—si rambut kuncir, si pengocok perut dalam drama gong Bali—katanya tak boleh naik panggung di pentas PKB kali ini. Entah bagaimana isu itu bergulit, sebutlah sebagai rumor.
Dunia pun seolah jungkir balik. Rumornya Petruk, sang pelawak dari rahim drama gong Bali itu dianggap tak pantas karena lawakannya kasar, jorok, bahkan dianggap tak beretika.
Tapi lucunya, penonton justru kangen. Tanpa Petruk, drama gong tak hidup. Seperti panggung tanpa cahaya, seperti gamelan tanpa kendang.
Paradoks itu menjelma nyata. Di dunia yang konon menjunjung sopan santun, Petruk justru jadi cermin kejujuran yang tak dibungkus. Lawakannya mungkin kasar, tapi dari sanalah muncul tawa yang mengendap lama di dada para penonton.
Petruk bukan sekadar tokoh, ia adalah nyawa. Apalagi sejak pasangannya, Dolar, telah pergi, dan sang raja buduh, Pak Yudana, sudah tak menyapa panggung, hanya Petruk yang tersisa sebagai pengikat masa lalu dan penanda bahwa tradisi masih hidup—meski dalam bentuk guyonan yang menggigit.
Maka saat kabar angin mengatakan Petruk tak diizinkan tampil, Bali geger. Padahal, PKB belum dibuka, sudah ada pentas kontroversi.
Ada yang bilang intervensi, ada yang curiga politisasi, padahal tak jelas dari mana rumor muncul, siapa dalangnya. Tak ada yang bilang Petruk tak boleh tampil, yang ada tontonan PKB harus menjadi tuntunan.
Gubernur Bali Wayan Koster angkat suara: Petruk itu pavoritnya. Ia minta segera diklirkan agar tak berkembang kemana-mana, karena memang tidak ada apa-apa. Tidak ada larangan untuk Petruk.
Diakui kadang Petruk celetak celetuk tapi menghibur. Pak Koster minta Petruk ditampilkan, kepada kurator Petruk tetap dikasi panggung.
Kurator pun bicara: tak ada apa-apa. Hanya rumor. Para pakar seni yang menjadi kurator hanya memberikan arahan bahwa tontonan harus menjadi tuntunan. Tak hanya pada Petruk, untuk semua sajian seni pada PKB harus memberikan edukasi.
Dari hiruk pikuk soal Petruk ini, panitia penyelenggara sejatinya sudah mendulang sukses; ketika belum bahkan tidak ada apa-apa lalu menjadi apa-apa, menjadi ramai diperbincangkan, bukankah itu sebuah keberhasilan promosi?
Semua tertuju pada PKB yang belum dibuka. Semua akhirnya tahu, ternyata ada kurator yang bekerja gigih agar masyarakat mendapatkan tuntunan dari tontonan yang berkualitas, memperoleh sajian seni yang berkualitas, tidak sembarang bisa tampil di arena PKB serta berbagai hal yang tak terpikirkan penonton tapi kurator telah memikirkannya.
Tanpa iklan mahal, hanya dengan Petruk tak tampil, semua orang mendadak bicara PKB. Maka dalam kekacauan yang tenang itu, panitia seharusnya berterima kasih pada Petruk: si pelawak yang lagi-lagi menjadi penyambung lidah PKB, bahkan sebelum pentas dibuka.
Bila perlu, Petruk yang tadinya dapat jatah tampil sekali, bisa ditambah lagi menjadi dua, tiga kali. Mereka yang kangen drama gong tampaknya ada pada Petruk.
Tentu, kritik harus ditampung. Bahwa banyolan Petruk kadang kebablasan, terlalu vulgar, tak berfilter—menjadi pelajaran penting, tak hanya untuk Nyoman Subrata alias Petruk tapi untuk semua seniman yang tampil di PKB.
Jika ada yang masih demikian, ditahu oleh publik, maka indikator kurator akan mrnjawab, bahwa masyarakat tak bisa menyalahkan panitia apalagi kuratornya jika ada yang tak bisa diterima.
Di dunia paradoks seperti ini, yang kasar bisa menghangatkan, yang jorok bisa jadi cermin, yang tak beretika bisa justru membongkar kemunafikan. Tapi batasan kasar, jorok, tak beretika itu penting. Di sinilah kurator memiliki kepekaan.
PKB bukan hanya soal pertunjukan. Ia adalah cermin Bali, memantulkan budaya, nostalgia, hingga jaje laklak yang gulanya meleleh pun jadi kenangan. Ada yang datang ke PKB bukan karena tari atau gamelan, tapi karena ingin duduk di sudut arena, menggigit lumpia, mencari laklak men Gabrub dan mengenang Bali yang dulu.
Petruk ada di sana. Bersama ingatan, bersama tawa, bersama kenangan yang tak bisa direvisi oleh kurator sekalipun.
Maka masukan menjadi penting agar jangan sampai mengedit terlalu bersih, hingga panggung kehilangan darahnya. Jangan sampai semangat menyaring, menyisakan ruang yang hampa. Jangan pula kebablasan.
Karena ini Bali. Di sini, yang dianggap usang kadang adalah pusaka. Dan Petruk—di antara laklak dan lumpia, di antara lawak dan kritik—adalah suara yang belum selesai disampaikan.
Ditulis Oleh:
Wayan Suyadnya, Dewan Pembina JMSI Bali