Perebutan Ruang Hidup di Pesisir Gianyar: Vila Investor Kuasai Pantai, Harga Lahan Meroket

 Perebutan Ruang Hidup di Pesisir Gianyar: Vila Investor Kuasai Pantai, Harga Lahan Meroket

Foto: Ketua Ubud Hotels Association, Putu Surya Arisoma

 

GIANYAR, Letternews.net – Pesisir pantai Gianyar—meliputi kawasan Kesiut, Lebih, hingga Ketewel—kini bukan hanya menjadi magnet wisata, tetapi juga medan “perebutan” lahan oleh investor luar Bali. Fenomena ini ditandai dengan maraknya pembangunan vila baru yang mayoritas dikuasai oleh pengusaha dari Jakarta dan Warga Negara Asing (WNA), membuat masyarakat lokal semakin terpinggirkan dari pasar properti di tanah sendiri.

Menurut Ketua Ubud Hotels Association, Putu Surya Arisoma, investor luar sukses membeli atau menyewa lahan pantai yang dulunya dikuasai oleh penduduk lokal. Arisoma mendesak agar setiap proyek vila baru diteliti ketat legalitasnya.

“Kami ingatkan agar setiap vila baru diteliti legalitasnya—apakah sudah memiliki izin resmi atau malah jadi vila ilegal yang menyalahgunakan lahan pertanian,” ujar Arisoma.

BACA JUGA:  Korban Terseret Arus di Pantai Kelan Ditemukan Meninggal

Penegakan Aturan Tata Ruang Dinilai Lemah

Masalah ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan penegakan aturan tata ruang di Bali. Pengamat pariwisata, A.A. Agung Ngurah Bagus Bhaskara, menyoroti bahwa perubahan fungsi lahan yang masif dari pertanian menjadi properti wisata pantai terjadi karena investor berani membayar harga sangat tinggi, yang menarik minat petani lokal untuk menjual.

“Perubahan fungsi lahan dari pertanian ke properti wisata pantai terjadi karena investor memberi harga tinggi, membuat petani lokal tertarik menjual. Ini menyoroti lemahnya pengawasan regulasi di tingkat kabupaten/kota,” jelas Bhaskara.

Kenaikan harga lahan memang tak terhindarkan. Seorang petani dari Desa Sukawati menyebutkan bahwa harga lahan pantai yang dulunya berkisar Rp225 juta per are kini melonjak tajam menjadi Rp400–500 juta per are. Banyak petani yang akhirnya melepas tanah mereka demi keuntungan jangka pendek, lalu terpaksa membeli lahan di daerah yang jauh dari tempat tinggal asal.

BACA JUGA:  Pangdam Zamroni Pimpin Prajurit Udayana Bersihkan Pantai Kuta

Reaksi Publik: “Perebutan Ruang Hidup Lokal”

Fenomena ini memicu reaksi keras dari publik dan warganet. Banyak warganet menilai pembangunan pesat di bibir pantai Bali bukan lagi sekadar “izin investasi,” melainkan telah menjadi “perebutan ruang hidup lokal”. Sebuah komentar warganet yang viral berbunyi: “Warga Bali sendiri malah terebut ruangnya di tanah sendiri.”

Warga berharap pemerintah daerah segera mengambil tindakan tegas, termasuk melakukan audit terhadap proyek-proyek baru di kawasan pantai, membongkar vila-vila ilegal, dan memperkuat kebijakan tata ruang yang benar-benar berpihak kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sah wilayah.

Editor: Rudi.

.

Bagikan: