Raperda “Bale Kerta Adhyaksa” Disahkan, Kado Ulang Tahun ke-67 untuk Provinsi Bali
Pengaruh Iklan Ultra-Processed Food (UPF) pada Perilaku Makan Anak Sekolah

Foto: Nyoman Wahyu Meta Wulandari, S.Gz., M.TP. (Dosen Gizi Universitas Bali Dwipa)
Denpasar, Letternews.net – Iklan makanan dan minuman kemasan kini tak hanya ada di televisi, tetapi juga merambah ke media sosial, papan reklame, dan berbagai platform digital lainnya. Dengan warna cerah, tokoh kartun yang menarik, dan hadiah mainan, iklan-iklan ini sangat efektif dalam memengaruhi anak-anak. Namun, mayoritas produk yang diiklankan adalah Ultra-Processed Food (UPF), yaitu makanan dan minuman yang kaya gula, garam, dan lemak, tetapi rendah serat dan nutrisi penting.
Psikologi Anak dan Iklan Makanan
Menurut data Nielsen Indonesia (2022), lebih dari 60% iklan makanan yang tayang saat anak-anak menonton adalah produk UPF. Penelitian lain di Public Health Nutrition (2020) menunjukkan bahwa paparan iklan ini membuat anak-anak cenderung menyukai makanan manis dan gurih, serta lebih sering mengonsumsi camilan berkalori tinggi.
Mekanisme di balik pengaruh ini cukup sederhana. Anak-anak yang berada pada tahap perkembangan kognitif konkret sering kali kesulitan membedakan antara informasi dan promosi. Ketika iklan berulang kali mengasosiasikan makanan dengan kesenangan atau hadiah, anak akan membangun kebiasaan dan keinginan kuat untuk mengonsumsi produk tersebut.
Penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menemukan bahwa anak-anak yang terpapar iklan UPF secara rutin cenderung:
• Lebih memilih makanan instan dibandingkan makanan rumahan.
• Mengasosiasikan makanan kemasan dengan kesenangan dan status sosial.
• Menolak sayur dan buah karena dianggap “tidak keren”.
Dampak Jangka Panjang pada Kesehatan
Dampak dari iklan ini tidak hanya memengaruhi pilihan makanan sehari-hari, tetapi juga membawa risiko kesehatan serius di masa depan. Konsumsi UPF berlebihan dapat memicu kelebihan berat badan, obesitas, dan gangguan metabolik sejak usia dini. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada anak, yang salah satunya disebabkan oleh pola makan tinggi gula, garam, dan lemak jenuh.
Di lingkungan sekolah, dampaknya juga terlihat jelas. Anak-anak mulai membandingkan bekal, membeli jajanan yang sedang “viral” di media sosial, dan meniru gaya makan dari iklan. Tanpa edukasi gizi yang memadai, mereka menjadi konsumen pasif yang mudah dipengaruhi.
Tanggung Jawab Bersama: Keluarga dan Regulasi
Orang tua sering kali kewalahan menghadapi permintaan anak yang terpicu iklan. Sayangnya, regulasi iklan makanan anak di Indonesia masih lemah, tanpa batasan ketat terhadap jam tayang atau isi iklan. Beberapa negara, seperti Inggris dan Chile, telah melarang iklan UPF yang menargetkan anak-anak. Indonesia bisa belajar dari kebijakan ini untuk melindungi generasi muda.
Sebagai orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan, kita memiliki tanggung jawab untuk lebih kritis terhadap paparan iklan ini. Edukasi literasi media, pembatasan konten iklan, dan promosi makanan sehat harus menjadi prioritas utama. Anak-anak bukanlah sekadar target pasar, melainkan individu yang sedang membentuk kebiasaan dan masa depan mereka. Tanggung jawab kita adalah membentuk lingkungan yang mendukung pilihan makan sehat.
Ditulis Oleh: Nyoman Wahyu Meta Wulandari, S.Gz., M.TP. (Dosen Gizi Universitas Bali Dwipa)