Paradoks Penyelesaian Sengketa Administrasi: Primum Remedium atau Sekadar Retorika?

 Paradoks Penyelesaian Sengketa Administrasi: Primum Remedium atau Sekadar Retorika?

Foto: Gambar Palu Hakim

 

JAKARTA, Letternews.net – Penyelesaian sengketa hukum administrasi di Indonesia menghadapi sebuah paradoks. Meskipun semangat hukum modern mengedepankan penyelesaian damai di luar pengadilan (primum remedium), dalam praktiknya, jalur litigasi atau pengadilan seringkali menjadi pilihan utama. Artikel ini menganalisis mengapa upaya administratif yang seharusnya menjadi solusi pertama justru sering dianggap sebagai formalitas semata.

BACA JUGA:  Sasar Tokoh Masyarakat Adat Denpasar, Harapkan Dapat Turunkan Angka Stunting Sedini Mungkin

Upaya Administratif: Harapan sebagai Primum Remedium

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) dan diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), sistem hukum administrasi Indonesia secara eksplisit mendorong penyelesaian sengketa di lingkungan pemerintahan itu sendiri.

Pasal 48 UU Peratun dan Pasal 75 UUAP secara tegas menyatakan bahwa warga masyarakat yang merasa dirugikan harus lebih dulu menempuh upaya administratif (keberatan dan banding) kepada pejabat atau atasan pejabat terkait. Mahkamah Agung melalui PERMA Nomor 6 Tahun 2018 juga mendukung penuh pola ini, dengan harapan sengketa dapat diselesaikan tanpa harus masuk ke ranah pengadilan.

Pola ini dimaksudkan sebagai langkah awal yang efektif (primum remedium) untuk menjaga hubungan baik antara masyarakat dan pemerintah, sekaligus mengurangi beban pengadilan.

BACA JUGA:  Ditetapkan KPU Sebagai Walikota dan Wakil Walikota Terpilih Tahun 2024 Jaya Negara dan Arya Wibawa: Terima Kasih dan Komitmen untuk Denpasar Lebih Baik

Mengapa Sering Berujung di Pengadilan?

Meskipun semangatnya kuat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa upaya administratif kerap tidak berjalan optimal. Beberapa faktor menjadi penyebabnya:

  • Proses yang Berbelit: Seperti yang terlihat dalam sengketa pertanahan, proses pengaduan yang panjang dan berbelit dapat membuat warga merasa lelah dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Ketika keberatan ditolak atau tidak ada tanggapan, pengadilan menjadi satu-satunya jalan keluar.
  • Persepsi Formalitas: Upaya administratif sering kali dipersepsikan sebagai formalitas yang harus dipenuhi sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, tujuan utamanya bukan untuk menyelesaikan sengketa, melainkan hanya untuk memenuhi syarat formil gugatan.
  • Keengganan Pejabat: Dalam kasus tertentu, seperti penerapan asas contrarius actus (kewenangan pejabat untuk membatalkan keputusan yang dibuatnya), pejabat pemerintah justru cenderung enggan mengambil keputusan pembatalan tanpa putusan pengadilan. Mereka merasa lebih aman jika pembatalan itu dilakukan berdasarkan putusan hakim.
BACA JUGA:  DPR Minta Pemerintah Duduk Bersama Bahas OPM

Masa Depan Hukum Administrasi

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: akankah semangat penyelesaian sengketa di ranah internal pemerintah sebagai primum remedium akan terus digalakkan, ataukah hanya sekadar retorika belaka?

Jawabannya terletak pada komitmen seluruh pihak. Pemerintah perlu menyederhanakan prosedur dan memastikan respons yang cepat dan adil. Sementara itu, warga masyarakat juga perlu diberikan edukasi agar memahami bahwa jalur administratif dapat menjadi solusi efektif jika dijalankan dengan benar. Tanpa sinergi ini, pengadilan akan tetap menjadi satu-satunya tumpuan, dan semangat primum remedium hanya akan menjadi harapan yang tak terwujud.

Penulis: Arie Guntoro
Editor: Rudi

.

Bagikan: