Paradoks Kemerdekaan Bali: Mengapa Ide ‘Menyewakan Bali ke Australia’ Justru Menggigit Nurani?
Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali

DENPASAR, Letternews.net – Sebuah obrolan santai di sudut kafe Denpasar baru-baru ini menghasilkan kritik sosial yang tajam dan menyengat. Berangkat dari celetukan sarkastis seorang penulis, “Gimana kalau Bali disewakan pada Australia?”, kritik ini viral sebagai refleksi getir atas kegagalan dalam mengelola keteraturan dan integritas di Pulau Dewata yang telah merdeka.
Penulis catatan, Wayan Suyadnya, menggarisbawahi ironi yang kini menyelimuti tata kelola publik di Bali. Celetukan tersebut muncul bukan sebagai keinginan nyata, melainkan sebagai paradoks yang menelanjangi kurangnya disiplin kolektif.
Rasa Malu yang Hilang di Tengah Sampah
Kritik utama tertuju pada kontras antara manajemen asing dan lokal. Suyadnya menyebut, jika dikelola Australia, mungkin disiplin akan ditegakkan: trotoar bersih, drainase tidak mampet, dan kebiasaan buang sampah sembarangan akan hilang.
“Lihat saja hotel-hotel yang dikelola manajer asing — disiplin, tegas, tertib, punya standar… Tapi begitu dikelola kita sendiri, entah mengapa, rasa malu seolah hilang di serakan plastik dan puntung rokok di trotoar,” tulisnya.
Paradoks ini diperkuat dengan perbandingan sejarah. Penulis mengenang masa penjajahan yang keras namun melahirkan keteraturan, di mana korupsi disikapi dengan hukuman mati yang tegas—kontras dengan era kemerdekaan yang justru ditandai dengan korupsi yang masif dan hilangnya rasa malu.
Dijajah Kebodohan dan Kemalasan Sendiri
Catatan ini mencapai puncaknya dengan kalimat menohok, “Penjajah yang dulu kita anggap jahat, ternyata tidak sejahat kita sekarang.”
Suyadnya menyoroti kegagalan bangsa Indonesia dalam mengurus kemerdekaannya sendiri, di mana nilai-nilai luhur seperti budaya malu dan Tri Hita Karana hanya diucapkan di bibir, bukan dihayati dalam laku. Ia membandingkan dengan negara seperti Tiongkok yang tegas menghukum koruptor, menciptakan kedisiplinan yang sejalan dengan kemajuan teknologi.
Penulis menyimpulkan bahwa ide sarkastis tentang “menyewakan Bali” adalah jeritan nurani yang muak. Ancaman terbesar bagi Indonesia bukan lagi penjajahan fisik, tetapi “dijajah oleh kebodohan dan kemalasan kita sendiri.”
Catatan Paradoks ini berakhir dengan hening yang panjang, meninggalkan pertanyaan mendasar: Apakah kita merdeka, tapi tak beradab; bebas, tapi tanpa arah, dan kehilangan rasa malu?
Penulis: Wayan Suyadnya
Editor: Rudi.







