Memahami Mens Rea dalam Hukum Pidana: Sikap Batin Pelaku Tindak Kejahatan
Foto: Gambar

Jakarta, Letternews.net – Dalam hukum pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika memenuhi dua aspek secara integral: aspek objektif (actus reus) dan aspek subjektif (mens rea atau kesalahan). Aspek objektif mengacu pada perbuatan fisik yang melanggar hukum, sementara aspek subjektif berkaitan dengan kondisi batin pelaku saat melakukan perbuatan tersebut.
Mens rea—yang secara harfiah berarti “pikiran jahat”—merupakan bagian penting dari aspek kesalahan. Menurut para ahli, mens rea adalah sikap batin atau keadaan psikis seseorang ketika melakukan tindak pidana.
Kesengajaan dan Kelalaian sebagai Wujud Mens Rea
Secara praktis, mens rea dapat terwujud dalam dua bentuk:
- Kesengajaan (dolus): Pelaku menyadari dan memang menghendaki perbuatannya. Artinya, ia tahu tindakannya melanggar hukum dan tetap melakukannya.
- Kealpaan/Kelalaian (culpa): Pelaku tidak berhati-hati atau tidak memperhitungkan akibat dari tindakannya, yang pada akhirnya menimbulkan tindak pidana. Meskipun tidak ada niat jahat, ia tetap dianggap lalai.
Sebagai contoh, jika seseorang meminjamkan motor yang kemudian digunakan untuk kejahatan, ia hanya bisa dijerat hukum jika terbukti memiliki mens rea, yakni mengetahui bahwa motornya akan digunakan untuk tindak pidana.
Contoh lain adalah pengendara yang ugal-ugalan di jalan ramai dan menabrak orang hingga meninggal. Pengendara tersebut mungkin tidak berniat membunuh, namun kelalaiannya dalam berkendara tetap dianggap sebagai mens rea dalam bentuk kealpaan.
Alasan Pemaaf dan Peran Hakim
Konsep mens rea sangat erat kaitannya dengan alasan pemaaf, yang berfungsi menghapus kesalahan pada diri pelaku. Artinya, meskipun perbuatannya melanggar hukum, ia tidak dapat dihukum karena tidak ada unsur kesalahan.
Contoh alasan pemaaf adalah kasus tindak pidana yang dilakukan oleh orang sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) atau pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam situasi ini, kesalahan tidak dapat dilekatkan pada pelaku karena tidak ada “niat jahat” atau kurangnya kemampuan bertanggung jawab.
Penentuan ada atau tidaknya mens rea sepenuhnya berada di tangan hakim. Hakim yang akan menilai apakah ada sikap batin jahat—baik berupa kesengajaan maupun kelalaian—yang mendasari perbuatan pidana. Hal ini berbeda dengan alasan pembenar yang dapat diselesaikan di luar persidangan. Dengan demikian, setiap kasus yang melibatkan alasan pemaaf harus diputuskan di pengadilan, karena hakim adalah pihak yang berwenang menilai kesalahan pidana.
Penulis: Pradikta Andi Alvat
Editor: Rudi.







