MA Gagas “Jembatan Keadilan”: Merekonstruksi Konsep Nusyuz Agar Sejalan dengan Perlindungan Korban KDRT

Foto: Gambar
JAKARTA, Letternews.net – Mahkamah Agung (MA) menyoroti penyalahgunaan konsep nusyuz, yang secara harfiah berarti “pembangkangan,” sebagai alat untuk menjustifikasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam sebuah artikel yang dirilis Humas MA pada Rabu (17/9/2025), disebutkan bahwa pemahaman sempit ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip Islam, tetapi juga secara frontal berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Artikel tersebut mengupas tuntas mengapa pemahaman nusyuz harus direinterpretasi secara mendalam, bukan sebagai izin untuk melakukan kekerasan, melainkan sebagai peringatan dini akan ketidakseimbangan yang perlu diselesaikan secara damai.
Dilema Klasik: Teks Agama versus Hukum Nasional
Secara etimologis, nusyuz merujuk pada sikap membangkang yang dapat merusak harmoni rumah tangga. Namun, narasi yang berkembang sering kali membatasi konsep ini hanya pada istri, padahal Al-Qur’an, dalam Surah An-Nisa ayat 128, secara jelas menyebutkan bahwa nusyuz juga dapat dilakukan oleh suami.
Ironisnya, tafsir yang bias gender ini menjadi dilema serius ketika berhadapan dengan UU PKDRT, yang secara tegas mengategorikan setiap bentuk kekerasan sebagai tindak pidana. “Di sinilah pertentangan itu muncul. Ketika korban KDRT disalahkan dengan dalih ‘nusyuz‘ atau ‘tidak taat,’ ini menunjukkan kegagalan memahami bahwa di mata hukum nasional, tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kekerasan,” tulis artikel tersebut.
Analisis Hukum Nasional: Nusyuz sebagai Peringatan, Bukan Hukuman
Dalam kerangka hukum nasional, konsep nusyuz harus dilihat dari lensa yang berbeda. Artikel ini menekankan tiga prinsip utama:
- Hukum adalah Aturan Terkuat: UU PKDRT adalah hukum positif yang tidak dapat ditiadakan oleh pemahaman agama apa pun.
- Perlindungan Korban sebagai Prinsip Utama: UU PKDRT dibangun di atas asas perlindungan korban, keadilan, dan kesetaraan gender. Gagasan bahwa istri ‘pantas’ menerima kekerasan adalah pemikiran yang melanggar hukum dan HAM.
- Hukum Progresif dan Keadilan Substantif: Hukum nasional berorientasi pada keadilan substantif, yaitu melindungi korban dan menghentikan kekerasan.
Rekonstruksi Pemahaman: Menjembatani Agama dan Hukum
Untuk menjembatani kesenjangan ini, diperlukan pendekatan holistik. Pertama, perlu adanya kontekstualisasi tafsir terhadap ayat-ayat yang kerap disalahpahami, seperti Surah An-Nisa: 34, yang tahapan penyelesaian konfliknya bukan kekerasan. Kedua, penegakan kesetaraan gender dengan memahami bahwa nusyuz dapat dilakukan oleh suami maupun istri. Terakhir, harus ada integrasi kuat antara hukum dan moral.
“Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dibenarkan oleh alasan apa pun, termasuk alasan agama,” pungkas artikel tersebut. Dengan menyatukan landasan agama dan hukum, diharapkan masyarakat dapat membangun keluarga yang harmonis, aman, dan adil.
Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Rudi.