Idul Adha UJB Bali, Momentum Jurnalis Perkuat Solidaritas dan Etika Pemberitaan
Hukum Progresif, Harapan Mengurai Sesak Lapas

Foto: Ir. Abdullah Rasyid, ME. Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan
Jakarta — Sudah banyak kalangan yang membahas dan berupaya mencari solusi atas masalah over-kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Karena bagaimana pun, ini bisa membuat malu bangsa kita di mata internasional: Yaitu citra negara dalam memperlakukan rakyatnya sendiri.
Salah satu yang mengemuka adalah upaya menegakkan keadilan restoratif (Restorative Justice). Diharapkan, dengan adanya hukuman alternatif selain pemenjaraan, dapat menekan membludaknya populasi di lembaga pemasyarakatan. Saat ini warga binaan yang ada di Lapas dan Rutan se-Indonesia berjumlah 271.385 orang. Angka ini melampaui kapasitas semestinya yang hanya 140.000 saja. Sementara 53% penghuninya atau sebanyak 135.823 orang, adalah mereka yang tersangkut tindak pidana narkotika.
Padahal disisi lain, pidana narkotika khususnya bagi pecandu, memiliki peluang besar untuk penegakan restorative justice. Apalagi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menunjukkan bahwa pecandu narkotika dipandang sebagai individu yang sakit dan perlu dipulihkan. Karena itu mereka wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial , bukan semata-mata penjahat yang harus dihukum penjara.
Restorative justice sangat selaras dengan konsep rehabilitasi, karena tujuannya adalah memulihkan kondisi pelaku (yang seringkali juga merupakan korban dari ketergantungannya sendiri), lalu membina dengan semangat mengintegrasikan kembali ke masyarakat.
Di era Presiden Prabowo Subianto ini, sebenarnya sudah mulai ada peningkatan atas isu Restorative Justice ini. Jaksa Agung RI, dalam beberapa kesempatan awal 2025, menegaskan kembali bahwa penerapan keadilan restoratif tetap menjadi salah satu prioritas penanganan perkara ringan. Apalagi Kejagung telah memiliki pedoman tentang hal ini, yakni Pedoman Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 mengenai Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 khusus untuk kasus narkotika.
Begitu juga di Polri, institusi ini memiliki payung hukum yang kuat untuk menerapkan RJ. Yaitu Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ini memberikan landasan operasional yang jelas di tingkat penyidikan. Mekanisme SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kini dituntut lebih selektif untuk perkara-perkara yang bisa diselesaikan di luar pengadilan. Selain itu, Polri juga terus memperluas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang menjadi pintu awal proses restoratif, khususnya untuk perkara domestik dan anak berhadapan dengan hukum.
Meski demikian, perjalanan keadilan restoratif bukan tanpa tantangan. Harus diakui bahwa paradigma dan kultur penegak hukum kita selama ini yang masih cenderung retributif, yaitu fokus pada kesalahan dan hukuman. Bekum lagi masalah keterbatasan SDM, dimana kegamangan tentang tafsir Restorative justice kerap menjadi hambatan. Tidak jarang, aparat di lapangan merasa gamang untuk membedakan antara keadilan restoratif dan impunitas. Ditambah lagi saat ini kerap terjadi tekanan publik yang menuntut hukuman berat untuk perkara yang sebenarnya masuk kategori ringan.
Bagaimanapun, kita harus tetap otimis bahwa suatu saat restorative justice akan bisa diwujudkan dengan konsisten dan berkualitas. Adanya dukungan regulasi dan upaya meningkatkan kesadaran aparat penegak hukum merupakan modal besar. Sehingga, restorative justice dapat sepenuhnya berkontribusi dalam mengatasi persoalan overcapacity di lapas dan mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, manusiawi, dan efektif di Indonesia.
Ditulis Oleh:
Ir. Abdullah Rasyid, ME
Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan