Tampil Cantik dengan Korean Glass Lips, Y.O.U Hadirkan Cloud Paint Glassy Glow Tint
Di Tengah Kegaduhan Sampah Suwung, Sejarah Peradilan Adat Bali Segera Terwujud

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali
Denpasar, Letternews.net – Di tengah ramainya perbincangan publik mengenai permasalahan sampah di TPA Suwung, sebuah peristiwa bersejarah bagi Bali nyaris tak tersentuh oleh perhatian media. Wayan Suyadnya dalam catatannya menyoroti bahwa Peradilan Adat (PA), sebuah lembaga yang vital bagi masyarakat Bali, kini sedang dalam proses pembahasan dan akan segera dilahirkan.
Peradilan Adat ini diharapkan menjadi denyut nadi keadilan yang menyusup ke dalam ranah niskala dan sekala, mampu memberikan perspektif berbeda dalam menyelesaikan kasus. Suyadnya mencontohkan kasus pencurian pratima.
“Dalam timbangan hukum positif, nilainya dihitung sesuai berat logamnya; dalam timbangan hati masyarakat adat, nilainya adalah luka yang dalam, karena Pratima itu lahir dari yadnya yang panjang, dari biaya dan doa yang menyatu dalam wujud sakral.”
Menurutnya, jika dibawa ke peradilan umum, pencurian pratima hanya akan dicatat sebagai pencurian biasa. Namun, di peradilan adat, perkara tersebut akan ditimbang dengan rasa, diadili dengan konteks, dan diputus dengan kesadaran bahwa yang dicuri bukan hanya barang, melainkan juga harmoni.
Peradilan Adat ini nantinya akan dibungkus dalam mekanisme hukum Restorative Justice, sebuah pendekatan yang berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan mufakat. Model ini akan diterapkan pada perkara-perkara kecil seperti pencurian ringan, vandalisme, konflik rumah tangga, kenakalan remaja, hingga perselisihan antarwarga seperti kasus kasepekang atau penanjung batu. Namun, ia tidak akan berlaku untuk kejahatan besar seperti pembunuhan, korupsi, dan kejahatan lain yang menjadi kewenangan hukum negara.
Suyadnya berharap DPRD dan eksekutif Bali, yang sedang membahas Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat, dapat menangkap hukum dan rasa keadilan masyarakat Bali. Ia berharap lembaga ini menjadi ruang pertemuan antara hukum positif dan hukum adat, yang bertujuan untuk memulihkan hubungan dan merajut kembali harmoni yang retak.
Menutup catatannya, Suyadnya menyayangkan sikap paradoks publik. Di saat kesempatan sejarah untuk menegakkan keadilan berbasis kearifan lokal terbuka lebar, perhatian masyarakat justru lebih terfokus pada gunungan sampah di Suwung.
“Maukah kita mewariskan warisan ini kepada anak cucu, atau membiarkannya hilang, terkubur di antara tumpukan sampah yang kita ributkan hari ini?” tanyanya, memberikan apresiasi kepada Gubernur Bali, Kejati Bali, dan anggota DPRD Bali atas inisiatif bersejarah ini. Ia menegaskan, jika berhasil, Bali akan menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki Pengadilan Adat formal, sebuah warisan berharga bagi generasi mendatang.
Editor: Anto