Jeritan Rakyat dan Logika yang Disingkirkan: Rute Lombok-Bali “Terjajah Harga”, Lebih Mahal dari Terbang ke Surabaya atau Kuala Lumpur!

 Jeritan Rakyat dan Logika yang Disingkirkan: Rute Lombok-Bali “Terjajah Harga”, Lebih Mahal dari Terbang ke Surabaya atau Kuala Lumpur!

Foto: Tiket Pesawat

DENPASAR, Letternews.net – Fenomena harga tiket pesawat rute domestik yang melambung tinggi, terutama untuk jarak pendek, kembali menjadi sorotan tajam. Dalam sebuah catatan kritis, Wayan Suyadnya mengungkapkan kegelisahan publik terhadap harga tiket Lombok-Bali yang dianggapnya tidak masuk akal dan terjajah harga.”

BACA JUGA:  Dirjen Dukcapil Zudan Arif: Pencatatan Nama Minimal Dua Kata

Suyadnya membandingkan rute Lombok-Bali, yang hanya melintasi selat sempit, dengan rute yang secara geografis jauh lebih panjang. Data per Minggu (30/11/2025) menunjukkan anomali harga yang mencolok:

  • Lombok — Surabaya (Super Airjet): Rp 808.000

  • Lombok — Bali (Lion Air): Rp 1.200.000

“Mana lebih jauh: Bali atau Surabaya? Kenapa logika geografi tiba-tiba lumpuh? Jarak seupil, harga segunung,” tulis Wayan Suyadnya, mempertanyakan akal sehat penentuan harga tiket di Indonesia.

BACA JUGA:  KPK Proses Laporan Terhadap Ganjar Pranowo

Paradoks Avtur dan Rute Jarak Jauh Lebih Murah

Kritik ini juga menyentuh aspek operasional: semua pesawat, baik Lion, Super Airjet, atau Garuda, menggunakan bahan bakar (Avtur) yang sama. Menurut Suyadnya, tidak ada logika yang menjelaskan mengapa rute pendek yang seharusnya mengonsumsi Avtur lebih sedikit, justru dibanderol lebih mahal.

Paralel harga yang lebih miris juga terjadi pada rute internasional:

  • Lombok — Jakarta: Rp 1.700.000

  • Lombok — Kuala Lumpur, Malaysia: Rp 1.200.000

Harga tiket ke negara tetangga, Kuala Lumpur, justru lebih murah daripada harga untuk menyeberangi selat menuju Bali. Fenomena ini, menurut Suyadnya, seolah membuktikan adanya “mafia tiket” dan membuat masyarakat “terbang tanpa logika.”

BACA JUGA:  Peringati Hari Pramuka Beragam Kegiatan dilakukan Pramuka SMK N 1 Abang

Pegiat Pariwisata dan Pemerintah Daerah “Tuli”

Suyadnya juga menyayangkan sikap diam dari para pemangku kepentingan, termasuk pegiat pariwisata (hotel, travel agent) dan Pemerintah Daerah yang menikmati Pendapatan Hotel dan Restoran (PHR).

“Dunia paradoks ini terang benderang, tapi semua terdiam… Telinga seolah ikut tuli,” kritiknya.

Catatan ini ditutup dengan pertanyaan tegas kepada akal sehat bangsa: Sampai kapan rakyat harus terbang tanpa logika dan mendarat di negeri yang masih terjajah oleh harga?

Editor: Rudi.

.

Bagikan: