Penjor Vs Kabel PLN: di Langit Bali Jelang Galungan—Antara Sakral, Keselamatan, dan Jeratan Kabel Semrawut
Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali

DENPASAR, Letternews.net – Menjelang Hari Raya Galungan, ketegangan paradoks kembali mencuat di Bali: konflik antara nilai sakral Penjor Galungan dan logika teknis Kabel PLN. Peristiwa ini bermula dari imbauan PLN agar penjor dipasang dengan jarak aman 2,5 meter dari kabel listrik demi alasan keselamatan.
Wayan Suyadnya, dalam catatan opininya, menyebut imbauan tersebut sebagai bentuk “kebaikan yang tak diantar dengan bahasa yang tepat.”
Penjor, bagi umat Hindu, adalah upakara dan simbol kemenangan dharma yang tidak dapat dipindah-pindah sembarangan. Ia adalah akar yang ditancapkan pada pemeson (gerbang rumah), bukan barang teknis yang bisa digeser hanya demi jarak aman.
“Di sinilah paradoks itu menari: antara sakral dan teknis, antara upakara dan utilitas, antara tradisi yang mengakar ribuan tahun dan kabel yang baru beberapa dekade membentang di langit Bali.”
Imbauan PLN: Niat Baik yang Salah Bahasa
Wayan Suyadnya meyakini niat baik PLN untuk menjamin keselamatan dan kelancaran listrik. Namun, ia menyayangkan bahwa pendekatan yang digunakan seolah menganggap tradisi adalah isu teknis yang bisa diselesaikan dengan peraturan jarak, tanpa mempertimbangkan tata letak dan makna filosofis.
Umat Hindu, menurutnya, sudah terbiasa menyesuaikan ketinggian dan ornamen penjor bila berdekatan dengan kabel, namun tanpa menggeser makna dan posisi sakralnya.
Catatan ini juga secara keras menyoroti pihak-pihak yang memanfaatkan imbauan tersebut menjadi “panggung politik murahan,” mengubah isu sensitif menjadi komoditas emosional.
Desakan Utama: Bebaskan Langit Bali dari Jeratan Kabel Semrawut
Lebih jauh, Suyadnya mendesak agar fokus paradoks ini diarahkan pada solusi jangka panjang yang lebih mendasar: Bali tanpa kabel semrawut.
Ia mempertanyakan sudah berapa kali upacara adat besar, seperti Ngaben atau Mapepada, terhambat oleh kabel PLN, Telkom, dan operator lain yang melintang rendah dan menjerat horizon kota.
“Paradoksnya: Bali yang menjunjung langit justru dihalangi oleh kabel-kabel yang menjerat horizon,” tulisnya.
Teknologi, menurutnya, bisa berbaikan dengan adat hanya bila ada komunikasi yang mampu menembus nalar dan nurani, yang mengerti kapan harus lembut dan kapan harus tegas. Karena di Bali, kata-kata pun adalah upakara.
Ditulis Oleh: Wayan Suyadnya.
Editor: Rudi.








