Wayan Suyadnya Soroti Bali Perlahan Tinggalkan Sawah, Budaya Agraris Terancam Hilang

 Wayan Suyadnya Soroti Bali Perlahan Tinggalkan Sawah, Budaya Agraris Terancam Hilang

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali

DENPASAR, Letternews.net – Bali sedang berada di persimpangan kritis, di mana identitasnya sebagai “Pulau Agraris” perlahan tergerus oleh laju industri dan pariwisata. Fenomena ini, yang disebut sebagai “paradoks Bali,” dikupas tuntas dalam catatan reflektif oleh Wayan Suyadnya.

Menurut data yang dipaparkan Suyadnya, Bali secara statistik tidak lagi dapat disebut masyarakat agraris. Dari total 4,46 juta penduduk, hanya sekitar 470 ribu jiwa (sekitar 17% dari pekerja) yang kini mencari nafkah di sektor pertanian, perkebunan, atau perladangan.

BACA JUGA:  D’TIK Fest Serangkaian HUT ke-273, Wawali Arya Wibawa Fokusnya Adalah Pelayanan Publik, Berikan Kemudahan dan Kemanfaatan Bagi Masyarakat

Dominasi Sektor Jasa dan Industri Menggeser Sawah

Pergeseran ini ditandai dengan melonjaknya sektor lain yang kini mendominasi lapangan kerja:

  • Sektor Jasa (Pariwisata & Pelayanan): Mencapai 525 ribu orang (sekitar 20%).
  • Sektor Produksi dan Pekerjaan Kasar: Angka tertinggi, mendekati 900 ribu orang (sekitar 33,5%).

“Masihkah Bali agraris? Pertanyaan ini menggema di kepala saya,” tulis Suyadnya. “Bali kini berubah wajah menjadi tanah industri, tanah jasa, tanah pariwisata.”

BACA JUGA:  Pasca Ditetapkan Tersangka Ini Kekayaan Firli Bahuri

Dampak Budaya: Dari Gotong Royong ke Praktisisme

Perubahan struktural ekonomi ini membawa dampak serius pada fondasi budaya Bali. Budaya yang lahir dan berakar dari masyarakat sawah kini terancam terlepas dari tanah yang melahirkannya.

  1. Kikisnya Gotong Royong: Ritme kerja industri dan jasa yang padat mengikis waktu luang yang dulunya diisi dengan kegiatan komunal seperti nyait canang (membuat sesajen) dan menyiapkan upacara bersama.
  2. Ritual Serba Paket: Suyadnya menyoroti praktikalisme modern, di mana segala sesuatu menjadi serba beli—mulai dari canang, bunga, hingga upacara sakral seperti Ngaben yang kini dapat dipesan melalui paket dengan pilihan kelas (nista, madya, utama).
  3. Pergeseran Nilai Tanah: Tanah warisan, yang dahulu dianggap sebagai “beban suci” yang harus diwariskan, kini dipandang sebagai aset pribadi. “Orang-orang tak lagi berkata, ‘Tanah ini titipan leluhur,’ tetapi, ‘Ini hak saya, saya boleh menjualnya,'” ungkap Suyadnya, sambil mengutip kalimat miris: “Yen sing jani adep, nyanan panake foya-foya” (Kalau tidak dijual sekarang, nanti anak-cucunya yang berfoya-foya).

Penulis menyimpulkan bahwa yang hilang bukan hanya sebidang lahan, tetapi “sebidang sejarah, sebidang doa, sebidang jiwa Bali itu sendiri.”

BACA JUGA:  Gelar Galang Gerak Budaya Tapal Kuda di Probolinggo, Gotong Royong Bangun Kedaulatan Pangan

Solusi: Merawat Jiwa Agraris

Tanggung jawab atas pergeseran ini tidak hanya terletak pada modernitas atau pariwisata, tetapi juga pada manusia Bali sendiri yang tergoda oleh kilau praktisisme.

Solusinya, menurut Suyadnya, bukanlah sekadar mempertahankan lahannya, tetapi merawat jiwa agraris yang menghidupi tanah itu. “Sebab tanpa jiwa itu, Bali bisa saja masih indah dilihat, tapi kosong di dalam — seperti canang sari yang indah dan wangi tapi tanpa doa,” tutupnya.

Editor: Rudi.

.

Bagikan: