Dari Tradisi Matung ke Tembok GWK: Hilangnya Tanah dan Budaya Bali

 Dari Tradisi Matung ke Tembok GWK: Hilangnya Tanah dan Budaya Bali

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali

DENPASAR, Letternews.net – Menjelang Hari Raya Galungan pada pertengahan November, masyarakat Bali akan merayakan tradisi Mepatung—yaitu gotong royong menyembelih babi yang menjadi simbol kebersamaan dan dialog dengan alam. Namun, tradisi yang berdenyut di pinggir jalan dan tepi sungai kini dihadapkan pada ancaman nyata: hilangnya tanah Bali akibat pembangunan dan investasi.

Dalam catatan paradoksnya, Wayan Suyadnya menyoroti kontras antara nilai-nilai luhur tradisi matung dan kenyataan pahit yang terjadi di kawasan seperti Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park.

BACA JUGA:  Kabar Duka Menpan RB Tjahjo Kumolo Meninggal Dunia

GWK: Tembok Tinggi dan Kontrol Swasta

Kasus terbaru yang mencolok adalah polemik pemagaran yang dilakukan manajemen GWK terhadap akses jalan warga Banjar Adat Giri Dharma, Ungasan. Suyadnya menyebut GWK sebagai raksasa beton yang dulunya dibangun dengan mimpi kebanggaan budaya, kini dikuasai oleh swasta, PT Alam Sutera Tbk.

“Tembok dibangun tinggi, memisahkan yang di dalam dan yang di luar. Warga satu banjar terisolasi, tak bisa lewat di tanahnya sendiri. Itulah wajah paradoks hari ini,” tulis Suyadnya. Ia mencatat bahwa meskipun Gubernur Koster telah memerintahkan sebagian tembok dirobohkan, kasus ini menunjukkan bagaimana simbol kebanggaan budaya dapat menyingkirkan warga lokal.

BACA JUGA:  Bali Internet Penuhi Kebutuhan Internet di Pesona Budaya Mertasari 2023

Ancaman Senyap: Seribu Transaksi Kecil

Suyadnya menegaskan bahwa ancaman yang lebih berbahaya dan mematikan bukan hanya datang dari proyek raksasa seperti GWK, tetapi dari seribu transaksi kecil yang nyaris tak terlihat.

“Investor itu tukang bakso, tukang buah, tukang busung, tukang AC—mereka datang, ketika sukses membeli sebidang tanah satu are… Dalam diam, seratus are tanah Bali berpindah tangan,” kritiknya.

Jika GWK terlihat mencaplok bumi karena ukurannya yang besar, ribuan transaksi kecil membuat hilangnya tanah Bali menjadi proses yang senyap, bertahap, dan tidak disadari.

“Mula-mula hanya sebidang. Lalu rumah di sebelah dijual… Dan tiba-tiba, orang Bali tak lagi punya ruang untuk matung.”

BACA JUGA:  Lestarikan Tradisi dan Budaya Bali, Walikota Jaya Negara hadiri Lomba Ngelawar dan Gebogan Banjar Geladag

Kehilangan Budaya dan Identitas

Suyadnya memperingatkan bahwa hilangnya tanah berarti hilangnya ruang budaya. Ia membayangkan skenario terburuk: tidak ada lagi tempat untuk ngorok kucit di pinggir kali atau manggang sate di halaman rumah, jika lahan tersebut telah dipagari satpam dan berubah fungsi menjadi vila berlabel “Balinese experience.”

“Data menunjukkan 85 persen aset pariwisata Bali kini tak lagi dimiliki oleh orang Bali,” ungkapnya.

Di ujung catatannya, Suyadnya menyimpulkan bahwa Bali tidak akan jatuh karena perang, melainkan akan hilang karena diam-diam menjual dirinya sendiri. Jika tanah itu hilang, tradisi matung dan kebahagiaan Penampahan akan lenyap, menyisakan Galungan hanya sebagai hari libur di kalender, “bukan lagi hari kebangkitan dharma di bumi leluhur.”

Editor: Rudi.

.

Bagikan: