Pasca-Banjir, Wayan Suyadnya Kritik “Banjir” Medsos dan Sindir Kelompok “Berteriak namun Tak Berbuat”

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali
DENPASAR, Letternews.net – Banjir yang melanda Bali pada 10 September lalu telah surut, namun gelombang kata-kata, tuduhan, dan fitnah di media sosial justru kian meluap. Fenomena ini menjadi sorotan tajam bagi Wayan Suyadnya, yang dalam catatannya mengkritik keras paradoks antara duka di dunia nyata dan kegaduhan di linimasa.
Mengutip sindiran dari Dr. Bagus Dharmayasa, Suyadnya membandingkan perilaku ini dengan “taluh goreng ada hasil” (telur goreng ada hasil). Ungkapan ini ditujukan kepada mereka yang gemar berteriak dan mengkritik, tetapi tidak memberikan solusi konkret. “Mengkritik tanpa solusi ibarat menggambar telur di atas kanvas: indah dipandang, tapi tak bisa dimakan,” tulis Suyadnya.
Kritik terhadap Sekda Bali dan Politik Pencitraan
Suyadnya menyoroti kasus Sekda Bali, Dewa Indra, yang menjadi sasaran kritik karena gaya bicaranya yang dianggap keras. Ia membela Sekda, mempertanyakan pasal atau undang-undang mana yang dilanggar, dan membandingkannya dengan tokoh publik lain yang juga menggunakan gaya bicara serupa namun tidak menuai kontroversi. Menurutnya, hal ini hanyalah bentuk “menggoreng isu” demi kepentingan politik.
“Kritik sejati adalah yang menyalakan obor solusi, bukan yang menggali lubang kubur bagi lawan,” tegas Suyadnya.
Banjir Medsos dan Kebutuhan Nyata Masyarakat
Suyadnya mengingatkan bahwa masyarakat Bali saat ini membutuhkan uluran tangan, bukan adu kata. Mereka yang kehilangan harta benda, motor, dan perabot rumah tangga membutuhkan tindakan nyata. Ia menyerukan agar energi publik dialihkan untuk hal-hal yang lebih produktif, seperti:
- Mengelola sampah dan tidak membuangnya sembarangan.
- Menghentikan alih fungsi lahan yang merusak lingkungan.
- Menormalisasi sungai agar air memiliki jalur yang lancar.
- Membangun manajemen air yang kokoh agar bencana tidak terulang.
Menurutnya, banjir fisik dapat diatasi dengan infrastruktur, tetapi banjir kata-kata hanya bisa dihentikan dengan kesadaran. “Mari goreng telur saja jika ingin merasa berhasil—setidaknya ada hasil yang bisa dimakan, bukan sekadar luka yang diwariskan,” pungkasnya.
Editor: Rudi.