Munas JMSI II Resmi Dibuka, Teguhkan Peran Pers di Era Digital
Pelajaran Penting dari Kehilangan Serangan

Foto: Wayan Suyadnya Dewan Pembina JMSI Bali
Letternews.net — Pantai Serangan, dulu dikenal dengan namanya yang mengakar dalam sejarah dan kehidupan masyarakat sekitar, kini dengan mudahnya dihilangkan dari peta menjadi “Pantai Kura-Kura” begitu kawasan itu ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Pelajaran apa yang diperoleh dari Serangan? Sebuah perubahan yang tampaknya sederhana—sekadar penyesuaian nama, mungkin demi kepentingan promosi dan investasi—tetapi justru mencerminkan realitas yang jauh lebih dalam dan pahit: Bali yang perlahan-lahan terjual, dan dengan penjualannya, lenyap pula hakikatnya.
Dalam logika ekonomi, siapa yang membeli, dialah yang berkuasa. Maka, nama yang diwariskan turun-temurun bisa dengan mudah diubah, fungsi bisa dialihfungsikan, batas-batas sakral bisa dipindahkan atau bahkan dihapus.
Bali, yang oleh leluhur dijaga dengan prinsip palemahan, pawongan, dan parahyangan, kini semakin dipertanyakan keberadaannya.
Apa arti kepemilikan dalam skala niskala? Apakah tanah yang dahulu menyatu dengan keyakinan dan spiritualitas kini hanya sekadar aset yang mudah diperjualbelikan?
Inilah peringatan yang tak boleh diabaikan: Bali tidak boleh dijual, sejengkal pun. Sebab setiap jengkal tanah yang hilang, setiap sudut yang berpindah tangan, bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan erosi budaya, spiritualitas, dan identitas.
Jika tanah Bali habis, di mana budaya Bali akan berpijak? Bagaimana bisa menjaga keajegan jika akar yang menopangnya terus terkikis?
Paradoks ini semakin nyata. Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk menjaga Bali tetap ajeg, lestari, dan kaya budaya. Di sisi lain, tanahnya perlahan terkikis oleh transaksi demi transaksi.
Persoalannya bukan hanya soal jual-beli fisik, tetapi tentang kehilangan ruang bagi budaya itu sendiri untuk bertumbuh.
Seperti halnya Pantai Serangan yang merupakan palemahan Pura Sakenan, sejatinya seluruh tanah Bali adalah palemahan budaya Bali.
Jika palemahan itu habis, maka budaya Bali kehilangan tempat berpijak. Bali tanpa tanahnya bukan lagi Bali.
Dan saat semuanya sudah terjual, apa lagi yang tersisa untuk diwariskan?
Ditulis Oleh:
Wayan Suyadnya