Mantan Napi Masuk DCT Menjadi Kontroversi

 Mantan Napi Masuk DCT Menjadi Kontroversi

Foto: KPU

Letternews.net — Gempuran kontroversi terjadi di daerah pemilihan Provinsi Bangka Belitung dengan masuknya 12 mantan narapidana ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan dan perdebatan, apakah kewajiban mengumumkan status mantan narapidana kepada publik menjadi langkah penting dalam menjaga integritas politik di daerah ini. Selasa (7/11/2023)

BACA JUGA:  DPR RI Minta Hindari Money Politic Agar Tidak Ada Persengketaan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Akademisi Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB), Sandy Pratama, mengungkapkan pandangannya terkait masuknya mantan narapidana ke dalam arena politik. Sebagai seorang pengamat politik, Sandy merinci aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami kontroversi ini.

Sandy menjelaskan bahwa sementara pelanggaran pidana dapat digunakan sebagai ukuran integritas dan ketaatan seseorang pada hukum, penting juga untuk menghormati hak setiap warga negara untuk terlibat dalam proses demokrasi. Dalam konteks ini, ia menggarisbawahi pentingnya memberikan informasi kepada publik mengenai status mantan narapidana sebagai elemen yang adil dan penting. Hal ini memungkinkan publik untuk mempertimbangkan masa lalu calon legislatif (Caleg) dalam pemilihan mereka.

Ia menjelaskan, “Beberapa klausul yang digunakan dalam bahasa PKPU (Peraturan KPU) itu sendiri sudah cukup proporsional. Batas ancaman hukuman pidana lima tahun yang digunakan sebagai ambang perkara ringan dan berat, jeda lima tahun juga menjadi semacam penghukuman untuk satu periode rezim pemilu.”

BACA JUGA:  PLN Women Summit 2024, Perkuat Eksistensi Perempuan Untuk Kemajuan Perseroan

Sandy juga menyoroti beragam aspek yang harus diperhatikan dalam kasus Caleg mantan narapidana di Bangka Belitung. Pertama, ia menunjukkan keragaman kasus pidana yang melibatkan Caleg tersebut, termasuk jenis pelanggaran yang dikenakan dan proses hukum yang melingkupinya. Beberapa pelanggaran yang terjadi di masa sebelumnya mungkin bukan semata-mata pelanggaran kriminal, beberapa di antaranya bisa berkaitan dengan masalah administratif atau politik.

Kedua, Sandy menyoroti kemungkinan bahwa partai politik dan Caleg yang bersangkutan mungkin memiliki keyakinan akan tingginya akseptabilitas dan elektabilitas mereka di mata pemilih, yang dapat meningkatkan peluang mereka memenangkan kontestasi pemilu.

Pada saat disinggung tentang bagaimana masyarakat harus menyikapi fenomena ini, Sandy menekankan bahwa pemilih harus mempertimbangkan preferensi mereka sendiri dan menjadikan pemilu legislatif sebagai kompetisi untuk memenangkan mayoritas kehendak konstituen di daerah pemilihan tertentu. Demokrasi, menurutnya, harus tetap berlangsung, dan pemilih memiliki peran penting dalam menentukan masa depan politik di daerah mereka.

BACA JUGA:  Poltekkes Kemenkes Denpasar Jurusan Gizi Gelar Diklat Gizi Dan Penyerahan MoU 

Namun, ia juga mengakui bahwa preferensi publik dapat dipengaruhi oleh branding dan personalisasi partai politik. Dalam hal ini, memberikan sanksi moral dalam pemilu terhadap calon yang memiliki catatan pidana adalah pertimbangan rasional bagi publik dan konstituen. Meskipun begitu, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan pemilih, dan yang paling dominan akan menang dalam pemilihan.

Masuknya 12 mantan narapidana ke dalam DCT anggota DPRD di Provinsi Bangka Belitung telah memicu perdebatan sengit tentang etika, integritas, dan demokrasi dalam politik daerah tersebut. Masyarakat dan pemilih di daerah ini sekarang dihadapkan pada tugas sulit untuk mempertimbangkan masa lalu dan potensi perubahan dari calon legislatif ini, sementara partai politik juga memiliki peran besar dalam mempengaruhi pandangan publik. Dalam pengambilan keputusan akhirnya, demokrasi akan tetap menjadi pilar utama dalam menjaga integritas politik di Bangka Belitung.  (LN/TIK)

.

Bagikan: