Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum Di Indonesia

 Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum Di Indonesia

Foto: Prof. Yusril Ihza Mahendra, SH. M.Soc.Sc, PhD Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Letternews.net — Sabtu, 28 Oktober 2023 adalah hari yang bersejarah bagi kita para akademisi dan siapa saja yang pernah menempuh pendidikan tinggi hukum di tanahn air, karena dalam sejarahnya, pada tanggal 28 Oktober 1924, sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, Pemerintah Hindia Belanda dengan resmi membuka lembaga pendidikan tinggi hukum yang dinamai dengan Rechtshoogeschool te Batavia, atau kadang-kadang disebut juga dengan nama Rechtshoogeschool te Weltevreden [Weltervreden adalah nama distrik di Batavia zaman dahulu yang sekarang menjadi Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat] disingkat dengan RHS dengan mengambil tempat di Gedung yang sekarang menjadi Gedung Kementerian Pertahanan di Jalan Merdeka Barat No. 13-14, Jakarta. RHS merupakan perguruan tinggi kedua yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda, setelah  sebelumnya mereka mendirikan Technische Hoogeschool te Bandoeng [THS yang menjadi ITB sekarang] pada pada tanggal 3 Juli 1920.

BACA JUGA:  Tahun Politik, Jasa Industri Konstruksi Indonesia Diproyeksi Meningkat

Berdirinya RHS pada tahun 1924 adalah kelanjutan dari berdirinya Sekolah Hukum atau Rechtsschool (RS) pada tahun 1909 yang sengaja didirikan untuk menyediakan tenaga penegak hukum khususnya bagi kalangan pribumi untuk mengisi kebutuhan pengisian jabatan aparatur kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri (landrad) yang berdiri di kota-kota keresidenan dan kabupaten di seluruh wilayah Hindia Belanda. RS bukanlah perguruan tinggi, melainkan semacam sekolah menengah kejuruan  di masa sekarang yang menerima murid-murid lulusan MULO atau SMP sekarang ini. Keberadaan RS masih berlanjut pada dekade-dekade awal kemerdekaan kita dengan berdirinya Sekolah Hakim dan Djaksa (SHD) untuk mengisi pegawai pembantu bagi para jaksa dan hakim di berbagai pengadilan negeri. Sementara untuk benar-benar mampu menjalankan tugas sebagai  hakim dan jaksa serta berbagai tugas di bidang administrasi pemerintahan lainya seperti Kantor Kadaster [semacam Badan Pertanahan sekarang] mau tidak mau memerlukan tenaga bergelar sarjana hukum. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dengan terbatasnya sarjana hukum dari kalangan orang Belanda ataupun sarjana hukum dari kalangan pribumi yang menempuh pendidikan tinggi  hukum di negeri Belanda,  sehingga mau tidak mau Pemerintah Hindia Belanda mengambil inisiatif mendirikan RHS. Dosen-dosen RHS pun adalah  sarjana hukum Belanda, kecuali Dr. R.A.A. Hoesein Djajadiningrat, seorang pribumi tamatan Universiteit Leiden yang dipercaya mengajar mata kuliah lembaga-lembaga sosial dan Hukum Islam.

Keberadaan RHS relatif tidak lama hanya sekitar delapan belas tahun saja. Sekolah itu terpaksa ditutup pada tanggal 5 Maret 1942, tiga hari sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang di Kalijati, Bandung, 8 Maret 1942. Sejak itu, RHS tidak pernah dibuka kembali di gedungnya yang kini menjadi Kementerian Pertahanan di Jalan Merdeka Barat No. 13-14 Jakarta Pusat.   Meskipun usianya tidak lama, namun keberadaan RHS ternyata mampu melahirkan elit baru yang terdidik dari kalangan rakyat pribumi. Dalam waktu yang singkat itu, RHS bukan saja melahirkan sarjana hukum (Meester in de Rechten), tetapi juga melahirkan beberapa orang yang mencapai gelar Doktor dalam Ilmu Hukum, termasuklah guru kita di Fakultas Hukum UI ini, Almarhum Prof Dr Mr Hazairin yang mempertahankan disertasinya tentang Hukum Adat Redjang pada tahun 1936. RHS yang berusia singkat ini ternyata bukan sekedar melahirkan ilmuwan, birokrat dan praktisi hukum, tetapi juga melahirkan pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan dan pemimpin negara Republik Indonesia setelah mencapai kemerdekaan. Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Wilopo dan Mr. Burhanuddin Harahap adalah adalah empat tokoh yang pernah belajar  RHS dan  pernah menjabat sebagai Perdana Menteri RI, dari delapan Perdana Menteri yang pernah ada dalam sejarah negara kita.  Sedangkan Mr. Assaat Datuk Mudo pernah menjadi Pemangku Presiden RI sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat berkedudukan di Yogyakarta (1950).

BACA JUGA:  Menteri Dody Permudah Akses Pendidikan Bagi Warga Miskin di Dataran Tinggi

Mereka yang dididik di RHS ternyata tidaklah menjadi “orang Barat di negeri timur” seperti dibayangkan oleh Snouck Hurgronje dan van Deventer yang merancang politik “asosiasi kebudayaan” antara Nederland dengan negeri jajahannya. Snouck Hurgronje percaya bahwa menjalankan politik asiosasi  melalui pendidikan Barat, maka lama kelamaan anak-anak kaum pribumi akan merasa dirinya menjadi “orang Belanda”. Mereka tidak seluruhnya “tersekularkan” dan teralienasi dari agamanya sebagaimana dibayangkan oleh Snouck Hurgronje. Secara ideologis mereka memang beragam. Mr. Amir Sjarifuddin, Mr Muhammad jusuf dan Mr. Luat Siregar memilih menjadi Marxis, Mr. S. Taksir Alisjahbana menjadi Sosialis, Mr. Muhammad Yamin dan Mr. Wilopo menjadi  nasionalis, sementara Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Mohamad Roem dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi eksponen terkemuka dari  gerakan modernisme Islam. Jadi, sebuah lembaga pendidikan yang sama, yang mengajarkan kurikulum pendidikan yang sama, dalam kenyataannya melahirkan alumni-alumni dengan orientasi ideologi yang beragam. Namun di antara semua perbedaan itu, ada titik temu di antara mereka, yakni komitmen yang teguh untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan memajukan bangsa dan negara. Fenomena seperti itu nampaknya akan terus terjadi sepanjang sejarah dan akan terus mewarnai perkembangan masyarakat kita, baik di masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Pendidikan Tinggi Hukum di Era Kemerdekaan

Pada awal tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia berusaha mendirikan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia di Jakarta, namun perguruan tinggi itu tidak dapat menyelenggarakan pendidikan sebagaimana mestinya dalam suasana Perang Kemerdekaan. Pemerintah NICA juga mendirikan Pendidikan tinggi yang sama. Setelah konflik Indonesia-Belanda selesai pada akhir tahun 1949, barulah Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah  Menteri Pendidikan RIS Dr Abu Hanifah membentuk Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950 dan sejak itu pula Fakultas Hukum Universiteit Indonesia berdiri sebagai kelanjutan dari RHS, sebagaimana Fakultas Kedokteran UI sebagai kelanjutan dari  GHS (Geneeskundige Hoogeschool te Batavia) yang didirikan tahun 1927.

BACA JUGA:  KUHP Baru Pengganti Hukum Kolonial Segera Diterapkan di Indonesia

Ketika dibentuk kembali, Fakultas Hukum Universitas Indonesia melakukan kegiatannya  di Jalan Salemba Raya dan awal tahun 1970 pindah ke Rawamangun. Terakhir, Fakultas Hukum pindah ke Depok pada tahun 1984 sampai sekarang ini. Fakultas Hukum UI merupakan fakultas hukum tertua di negeri kita. Keberadaannya kemudian disusul dengan berdirinya fakultas yang sama pada Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang merupakan kelanjutan dari Sekolah Tinggi Islam yang dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta pada tahun 1943 dan ikut hijrah ke Yogyakarta di masa perang kemerdekaan. Sampai saat ini, boleh dikatakan semua universitas negeri di negara kita memiliki fakultas hukum. Begitu pula dengan perguruan tinggi swasta. Kesemuanya dilihat dari kurikulum pendidikan, mempunyai kesinambungan dengan kurikulum RHS, yang tentunya, menyesuaikan pula dengan perkembangan norma hukum yang berlaku di negara kita, dan perkembangan akademik di dunia ilmu hukum yang kian beragam.

Sebuah kenyataan sosial dan politik yang tidak dapat kita ingkari adalah di negara-negara yang pernah dijajah oleh negara-negara Eropa, pengaruh dari hukum kolonial memainkan peranan yang sangat penting dan mewarnai corak sistem hukum di negara bekas jajahan. Demikianlah kita menyaksikan besarnya pengaruh hukum  Inggris di India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Demikian pula dengan hukum Spanyol dan Amerika Serikat di Philipina serta hukum Belanda di tanah air kita. Kurikulum RHS dengan jelas menggambarkan pengajaran materi hukum Belanda termasuk Pelajaran Hukum Tata Negara Belanda dan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di Negeri-Negeri Jajahan termasuk Hindia Belanda. Meskipun Hukum Islam dan lembaga-lembaga Islam diajarkan di RHS, tetapi kedudukan dan tafsir atas keberlakuan Hukum Islam tidak terlepas dari politik kolonial di masa itu.

BACA JUGA:  Proses Hukum Kasus Landak Jawa Polda Bali Tidak Melakukan Penahanan

Demikian pula materi pengajaran dan keberlakuan Hukum Adat tidak terlepas pula dari kebijakan kolonial dalam mempertahankan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan kolonial di negeri-negeri yang penduduknya beragam. Antusiasme yang tinggi yang ditunjukkan oleh para akademisi hukum Belanda, baik di Universiteit Leiden  maupun di RHS untuk melakukan riset dan mengembangkan berbagai teori hukum terkait dengan hukum adat, tidaklah sebesar antusiasisme para ahli hukum Inggris di India dan Malaya. Demikian pula dengan para ahli hukum Spanyol dan Amerika Serikat yang samasekali tidak tertarik untuk mempelajari dan mengembangkan hukum adat di Philipina, karena hal itu bukan merupakan bagian dari kebijakan kolonial untuk melangengkan kekuasaan di negeri-negeri itu.

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Belanda dan negeri jajahan Hindia Belanda mengalami perubahan radikal dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun bidang-bidang hukum yang lain dinyatakan tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945  sepanjang belum diadakan aturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Upaya kita menciptakan norma hukum yang baru di bidang hukum perdata dan pidana memang telah berkembang sangat pesat, sejak pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tetap menjadi rujukan dan asas-asasnya diterima dalam praktik, namun dalam kenyataannya kita telah menciptakan norma-norma baru yang tidak terkodifikasi tetapi memberikan pengaturan yang relative cukup banyak terhadap berbagai aktivitas di bidang perdata dan bisnis pada umumnya. Kemajuan dalam melakukan transformasi asas-asas syariah ke dalam hukum bisnis kontemporer yang meliputi perbankan, asuransi, perdagangan surat berharga (syuquq) dan lembaga pembiayaan kecil dan menengah berdasarkan syari’ah berkembang pesat, sehingga disadari atau tidak terjadi semacam adopsi dari kaidah-kaidah syari’ah ke dalam hukum nasional kita. Dua tahun yang lalu, Pemerintah melakukan merger besar-besar bank-bank syari’ah anak perusahaan bank-bank BUMN dan menjadi Bank Syari’ah Indonesia (BSI), sehingga menjadi bank salah satu dari lima bank terbesar di tanah air.

BACA JUGA:  Bawa 3 Bukti Kuat, Garda Tipikor Indonesia Dorong Kejagung Usut Tuntas Keterlibatan Demer Dugaan Korupsi APD Covid 19

Sementara di bidang hukum pidana, kita telah berhasil mengganti Wetboek van Straftrechts (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Hindia Belanda dengan KUHP Nasional pada tanggal 6 Desember 2022, setelah WvS berlaku selama 100 tahun lamanya. KUHP Nasional itu baru akan diberlakukan pada tahun 2025 yang akan datang. Perubahan dari WvS ke KUHP Nasional menandai perubahan yang cukup mendasar dari pemikiran lama bercorak kolonial, dengan pemikiran baru yang dilandaskan kepada falsafah negara dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Paradima hukum yang digunakan juga berbeda dari konsep keadilan retributif yang menekankan sanksi fisik dan pembalasan menjadi paradigma keadilan yang menekankan prinsip-prinsip keadilan korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif baik bagi pelaku maupun bagi korban kejahatan. Tugas dari fakultas hukum di masa transisi pemberlakuan KUHP Nasional ini adalah melakukan kajian untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan pengaturan dalam KUHP Nasional ini, dan sekaligus sosialisasi baik kepada aparatur penegak hukum maupun kepada seluruh warga masyarakat.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah tegas menyebutkan adanya tiga lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Di samping itu, berdasarkan undang-undang telah dibentuk berbagai peradilan khusus untuk menangani bidang-bidang tertentu, seperti pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia dan pengadilan tindak pidana korupsi. Pada tahun 2004, tugas-tugas administratif, personel dan keuangan pengadilan negeri dan tata usaha negara diserahkan oleh Kementerian Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah Agung. Demikian pula pengadilan agama dan militer yang semula penanganan administrasi, personel dan keuangannya ada pada  Kementerian Agama dan Markas Besar TNI. Kita juga membentuk Mahkamah Konstitusi dengan berbagai kewenangan antara lain untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

BACA JUGA:  KPK Usut Sembilan Tersangka Korupsi Proyek Pengerukan

Di Era Reformasi sebenarnya telah terjadi perubahan kelembagaan penegak hukum  yang sangat besar dibanding era-era sebelumnya. Namun perubahan ini belum sepenuhnya mampu didukung dengan tersedianya norma-norma hukum baru yang kita ciptakan untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berubah. Pengadilan Agama sebagai contoh, masih sangat tertinggal dalam Pembangunan hukum materilnya, meskipun kewenangannya kini diperluas. Di Aceh Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara jinayat (pidana) yang diatur dalam Qanun Jenayat (Perda Pidana) Pemerintah Aceh, tetapi hukum acaranya masih menggunakan kaidah-kaidah fiqih. Di Pengadilan Agama pada umumnya, belum tersedia hukum acara yang baru, sehingga dalam menangani perkara hukum kekeluargaan Islam, Pengadilan Agama menggunakan HIR Hindia Belanda dengan beberapa penyesuaian. Pengadilan Agama kini juga diberi kewenangan untuk memutus perkara-perkara bisnis syariah tertentu, sebuah perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Karena perkembangan-perkembangan baru ini, maka Fakultas Syari’ah di IAIN dan UIN kini berubah menjadi Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk menjawab perubahan zaman.

Mengingat perkembangan-perkembangan pesat baik dari sudut pembentukan norma hukum baru, maupun kebutuhan akan penegakan hukum yang berintikan keadilan dan kepastian hukum, maka tugas utama Fakultas Hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum akan terasa makin besar. Para akademisi hukum di Fakultas Hukum berkewajiban untuk mengembangkan filsafat hukum dan teori ilmu hukum yang berangkat dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita sendiri. Tentu sangat dimungkinkan bagi kita untuk menimba ilmu dari berbagai sumber sebagai kerangka pemikiran dan kerangka teori untuk mengungkapkan dan memformulasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita, dengan titik tolak falsafah bernegara kita sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai generasi yang hidup di era globalisasi, kita tidak dapat menutup mata atas perkembangan-perkembangan pesat dalam dunia hukum di negara-negara lain. Kita dapat menelaah dan memetik hikmah dari perkembangan-perkembangan itu, suatu dan lain hal, kita daya-gunakan untuk kepentingan kemajuan bangsa kita sendiri.

BACA JUGA:  UD Citra Wijaya Grosir Kemalingan

Sebagai lembaga Pendidikan tinggi yang bertugas untuk mendidik para praktisi hukum dan penyelenggara negara, tugas kita para akademisi bukan saja sekedar mengajarkan ilmu hukum dan pengetahuan hukum untuk digunakan dalam praktik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan semangat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang tujuan penyelenggaraannya adalah untuk mengembangkan “potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada  Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa”.

Mengajarkan ilmu hukum bukanlah perkara yang sulit di era kemajuan teknologi informasi sekarang ini. Buku online serta berbagai artikel akademik bidang hukum, kasus-kasus hukum yang setiap saat dapat dicari datanya di internet, secara perlahan telah menggeser peran dominan seorang dosen yang mengajar di depan kelas. Sumber informasi telah demikian menyebar. Masalah yang paling sulit untuk dikerjakan, yang tidak dapat digantikan oleh dunia maya, adalah mencapai tujuan pendidikan tinggi hukum sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan nasional sebagaimana dikatakan tadi. Tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan suasana lingkungan Pendidikan tinggi yang religius dan mengedepankan akhlak dan budaya masyarakat kita, serta bimbingan dan suri tauladan para dosen kepada mahasiswanya.

BACA JUGA:  Saka Bhayangkara Jembrana Amankan Jalur Ritual Melasti Nyepy

Saya ingin mengajak kita semua, untuk sejenak merenung ketika kita akan memasuki usia satu abad pendidikan tinggi hukum di tanah air kita di tahun depan. Selama hampir satu abad ini, generasi demi generasi yang mempelajari hukum di perguruan tinggi ini, sejak RHS sampai sekarang telah datang dan pergi silih berganti. Semua yang sudah pergi, masing-masing telah memberikan darma-bhakti dan sumbangsihnya bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara kita sesuai zamannya.

Generasi sekarang  masih menghadapi tantangan yang besar, yakni kurang sempurnanya norma-norma hukum yang berhasil kita rumuskan serta lemahnya penegakan hukum yang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat. Sebagai produk politik, norma hukum tertulis kita masih mencerminkan kehendak golongan yang kuat dan berkuasa, sehingga mengabaikan keadilan. Penegakan hukum kita masih jauh dari harapan pencari keadilan. Bahkan intervensi terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, baik oleh mereka yang sedang memegang kekuasaan politik, maupun mereka yang menguasai sumber-sumber kekayaan ekonomi terasa semakin menjadi-jadi. Tindak kejahatan baik kejahatan konvensional maupun non-konvensional seperti kejahatan dunia maya terasa mengalami peningkatan yang luar biasa. Demikian pula tindak pidana korupsi masih terus menjadi problema yang belum mampu kita tuntaskan di era Reformasi ini. KPK telah kita bentuk pada tahun 2003 sebagai lembaga penegak hukum untuk menindak para pelaku kejahatan korupsi dengan menggunakan cara-cara yang “luar biasa”. Namun hasilnya masih sangat jauh dari apa yang kita harapkan. Saya yang ketika itu mewakili Presiden mengajukan dan membahas RUU Pembentukan KPK dan PPATK dengan DPR RI, terus terang merasa sedih dengan perkembangan yang tidak menggembirakan ini.

BACA JUGA:  Seleksi Tim U-16 Indonesia Tahap Pertama Rampung

Kita semua berharap agar di tahun 2045 nanti, tepat 100 tahun Indonesia Merdeka, kita akan mampu menjadi sebuah negara maju dengan urutan ke lima di dunia. Potensi ekonomi kita memang sangat besar sehingga sangat mungkin dapat kita capai asalkan tercipta stabilitas sosial dan politik dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen setiap tahunnya. Pencapaian itu akan terjadi lebih cepat jika ekonomi tumbuh di atas 6 persen. Namun semua harapan dan impian itu tidak mungkin akan tercapai tanpa didukung oleh adanya norma-norma hukum yang adil dan menjamin adanya kepastian hukum. Karena itu, tugas yang dihadapi oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang sangat berat dan memerlukan komitmen dan kerja keras dari kita semua.

Ditulis Oleh :

Prof. Yusril Ihza Mahendra, SH. M.Soc.Sc, PhD
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

.

Bagikan: